Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pangkas Subsidi 50 Persen, Grab Tak Takut Ditinggal Pelanggan

Kompas.com - 20/07/2016, 09:40 WIB
Fatimah Kartini Bohang

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Grab tak ingin terus-menerus memanjakan pelanggan. Layanan ride-sharing tersebut akhirnya memangkas subsidi pembayaran sebesar 50 persen.

Artinya, nominal pembayaran Grab yang dibebankan ke pelanggan tiap kali menyelesaikan perjalanan bakal berangsur normal sesuai dengan kalkulasi bisnis yang sesungguhnya.

Hal ini tentu berpotensi menurunkan minat pasar. CEO Grab Anthony Tan sadar betul dengan risiko itu. Meski demikian, ia percaya Grab bakal tetap menjadi andalan bagi masyarakat yang mengutamakan efisiensi waktu.

"Ada orang yang price-sensitive, namun banyak juga yang time-sensitive. Grab sendiri menyasar orang-orang yang mengutamakan waktu mereka," kata dia dalam sesi media gathering di Restoran Bunga Rampai, Jakarta, Selasa (19/7/2016).

Anthony pun tak takut jika pelanggan Grab yang price-sensitive akhirnya meninggalkan layanan tersebut. Ia berdalih fokus utama Grab adalah kualitas layanan dan bisnis yang stabil.

"Kami ingin bangun bisnis yang sustainable dan menumpas kemacetan jangka panjang. Subsidi terus-menerus tak akan jadi solusi," ia menuturkan.

Menurut pengusaha asal Malaysia itu, stabilitas bisnis layanan ride-sharing sejatinya bukan dilihat dari banyaknya armada pengemudi, melainkan banyaknya penumpang dan berapa subsidi yang diberikan.

Jika bisnis terus-menerus memberikan subsidi, kata dia, maka banyaknya armada tak bakal berarti apa-apa.

Mengandalkan teknologi

Seiring dengan pemangkasan subsidi tersebut, Grab bakal fokus berinvestasi di bidang teknologi untuk menjamin pengalaman terbaik bagi pelanggan.

Fatimah Kartini Bohang/kompas.com CEO Grab Anthony Tan, Senin (20/7/2016) dalam sesi media gathering di Restoran Bunga Rampai, Jakarta.
Anthony sesumbar pihaknya telah bekerja sama secara eksklusif dengan World Bank untuk mengakses data kemacetan di negara-negara di Asia Tenggara. Dengan data tersebut, Grab dapat mengembangkan teknologi routing dan mapping yang lebih efektif bagi pengemudi maupun penumpang.

Teknologi itu diklaim akan menambah produktivitas pengemudi. Saat menyelesaikan satu orderan, pengemudi bakal dapat lagi dan lagi. Sementara bagi penumpang, mereka akan lebih hemat waktu. Setelah memencet tombol order, penumpang tak perlu lagi menunggu lama untuk beranjak ke tempat tujuan.

"Kami sangat yakin dengan teknologi. Walaupun investasinya mahal, pada akhirnya akan terbayar dengan kepuasan pelanggan," kata Anthony.

Pemanfaatan data kemacetan dan kondisi lalu lintas dari World Bank sudah dimanfaatkan di beberapa negara. Indonesia sendiri sedang dalam tahap pengembangan lebih lanjut.

Grab saat ini telah beroperasi di enam negara dan 30 kota. Masing-masing negara mencakup Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Di Indonesia sendiri, Grab saat ini baru bisa dijajal di lima kota: Jakarta, Bali, Surabaya, Bandung, dan Padang. Grab berencana bakal berekspansi ke delapan kota besar lainnya.

Secara total, aplikasi Grab telah diunduh lebih dari 17 juta perangkat. Indonesia mengambil porsi paling besar di antara negara-negara lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com