Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Google dan Facebook di Bawah Tekanan ChatGPT...

Laporan menunjukkan bahwa ChatGPT telah digunakan oleh satu juta pengguna dalam kurun waktu 5 hari saja setelah diluncurkan ke publik dalam versi beta pada 30 November 2022.

Setiap harinya diestimasikan ada 10 juta query alias pertanyaan yang diajukan pengguna. Jumlah tersebut diyakini terus bertambah.

Kesuksesan ChatGPT tersebut tampaknya membuat perusahaan teknologi raksasa macam Google dan Meta (induk Facebook, Instagram, WhatsApp) ketar-ketir.

Pasalnya, kedua perusahaan tersebut tampaknya mulai menyalakan "alarm" untuk gerak cepat mengejar pamor ChatGPT.

Setidaknya begitulah menurut laporan outlet media The Washington Post yang mendapatkan "bisikan" dari enam karyawan Google dan Meta, baik yang masih bekerja atau sudah menjadi mantan.

Tujuannya untuk memanfaatkan panggung chatbot kecerdasan buatan yang telah didapatkan oleh ChatGPT saat ini.

Sebenarnya, Meta sudah cukup banyak menjajaki chatbot percakapan AI sumber terbuka (open-source) dalam beberapa tahun terakhir.

Misalnya, Meta meluncurkan BlenderBot generasi pertama (2020), BlenderBot 2.0 (2021), BlenderBot (2022). Namun, ketiganya belum berhasil merebut hati banyak pengguna.

Pada bulan Agustus, BlenderBot dilaporkan menyajikan komentar rasis, sehingga "ditinggalkan" Meta.

Setelah BlenderBot, Meta juga meluncurkan tes publik untuk Galactica pada November, tepat sebelum ChatGPT dari OpenAI muncul.

Galactica adalah inisiatif Meta untuk merangkum penemuan penelitian ilmiah dan memudahkan pembuatan teks ilmiah. Jadi, Galactica dirancang untuk membuat karya ilmiah berdasarkan AI, tak seperti BlenderBot yang dirancang untuk percakapan berdasarkan AI.

Namun, Galactica disebut-sebut hanya bertahan 3 hari saja, sebelum akhirnya dimatikan. Pasalnya, Galactica dikritik menyajikan hasil ringkasan penelitian ilmiahnya yang tidak akurat dan terkadang bias.

Tak heran bila Google menyalakan gerak cepat untuk melawan GPT. CEO Google Sundar Pichai dilaporkan megeluarkan "kode merah" seputar peluncuran produk berbasis AI di Google.

Kemungkinan kode merah itu menjadi pertanda bahwa produk AI milik Google harus segera diluncurkan ke publik.

Pichai juga dilaporkan memberikan "lampur hijau" untuk mempersingkat proses penilaian dan mengurangi potensi bahaya dari teknologi AI miliknya.

Diwartakan sebelumnya, Pichai juga mulai melakukan rotasi dan perombakan besar pada banyak tim di Google untuk menanggapi ancaman ChatGPT.

Bahkan, bos Google itu juga meminta arahan dari Larry Page dan Sergey Brin terkait strateginya menghadapi ancaman semacam ChatGPT. Padahal, duo pendiri Google itu sudah bertahun-tahun tidak terlibat aktif dalam operasional perusahaan karena sudah dialihkan ke Pichai.

Larry Page dan Sergey Brin kabarnya mengadakan beberapa pertemuan dengan para eksekutif Google bulan lalu guna menyusun strategi AI dan menyetujui rencana untuk melibatkan lebih banyak fitur chatbot ke mesin pencarian Google.

Keduanya juga ikut berperan dalam merancang dan menyetujui rencana baru, mengajukan ide hingga mendiskusikan masalah ChatGPT.

Teknologi AI sendiri sebenarnya bukan barang baru bagi Google. Misalnya, Google sebenarnya sudah punya chatbot serupa ChatGPT, namanya adalah Language Model for Dialogue Applications (LaMDA).

LaMDA bisa dibilang menjadi teknologi Google yang paling berpotensi menjadi kompetitor ChatGPT, termasuk kompetitor lainnya bernama Dall-E 2 yang bisa membuat gambar berdasarkan teks yang dimasukkan pengguna.

Lantas, mengapa ChatGPT dari OpenAI bisa lebih "sukses" ketimbang teknologi AI dari Google dan Meta?

Tetapi, kata Riedl, laboratorium penelitian macam OpenAI berhasil memanfaatkan publik untuk meningkatkan teknologi chatbot AI miliknya.

"Selama dua tahun terakhir, OpenAI mereka telah memanfaatkan pengguna untuk memberikan umpan balik kepada GPT,” kata Riedl.

Umpan baliknya adalah seperti memberikan “jempol ke bawah” untuk jawaban yang tidak pantas atau tidak memuaskan dari chatGPT. Proses umpan balik manusia itu benar-benar menguntungkan OpenAI dan meningkatkan kemampuan ChatGPT seiring waktu.

Di sisi lain, hal tersebut tampaknya tidak bisa dilakukan oleh Google dan Meta. Pasalnya, beberapa ahli etika AI khawatir bahwa bila perusahaan teknologi raksasa macam Google dan Meta tergesa-gesa merilis produk AI-nya ke pasar sebelum pakar kepercayaan dan keamanan dapat mempelajarinya risiko, produk itu dapat membuat miliaran orang terkena potensi bahaya.

Adapun potensi bahayanya seperti informasi yang tidak akurat, membuat foto palsu, atau memberi siswa kemampuan untuk menyontek saat ujian sekolah.

Makanya, produk AI dari perusahaan besar cenderung lebih "membosankan" dan tak sebesar atau se-booming ChatGPT adalah karena produk AI itu dibuat aman.

“Orang-orang merasa bahwa OpenAI lebih baru, lebih segar, lebih menarik, dan memiliki lebih sedikit "dosa" yang harus dibayar daripada perusahaan lama ini. Dan mereka dapat melakukannya untuk saat ini,” kata seorang karyawan Google yang bekerja di AI, merujuk pada keinginan publik untuk menerima ChatGPT yang minim pengawasan.

Perusahaan teknologi besar juga semakin berhati-hati meluncurkan chatbot AI ke publik setelah kasus chatbot AI milik Microsoft, Tay. Pasalnya, chatbot Tay yang dirilis pada 2016 itu kandas dalam waktu sehari gara-gara menyerukan perang ras, menyebut Hitler benar, dan menyajikan tweet "Yahudi melakukan 9/11".

Namun, setelah kehadiran ChatGPT, tampaknya Google dan Meta menjadi gerak cepat lagi untuk menghadirkan layanan serupa, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari The Washington Post, Selasa (31/1/2023).

https://tekno.kompas.com/read/2023/01/31/07000097/ketika-google-dan-facebook-di-bawah-tekanan-chatgpt

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke