Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merger Operator Seluler, Kenapa Harus Jadi Tiga?

Topik merger saat ini hanya mengarah ke XL Axiata dan Smartfren, namun Budi juga setuju jika, misalnya Smartfren gabung ke Telkomsel atau operator lainnya.

Merger, ibaratnya perkawinan tidak dapat dipaksakan, harus sukarela yang akan kawin. Biarkan mereka sendiri yang “saling taksir”, apakah memang ada kecocokan.

Presdir dan CEO XL Axiata, Dian Siswarini pada beberapa kesempatan menyebutkan, merger bukanlah urusan manajemen, melainkan pemegang saham. Dengan demikian, merger keduanya menjadi urusan Kelompok Axiata dan Kelompok Sinar Mas.

Belum ada klarifikasi adanya pembicaraan serius di antara kedua kelompok yang didorong merger. Namun selentingan menyebutkan, jika keduanya diharapkan merger, akan sangat banyak tantangannya.

Sejak dekade lalu, sekitar 2010 hingga 2019, isu merger sudah santer yang berlanjut ke “perkawinan” Indosat Ooredoo dengan Hutchison Tri (3) terwujud pada akhir 2021 menjadi Indosat Ooredoo Hutchison (IOH).

Merger ini disebut paling sukses, karena beberapa operator dunia pernah melakukan, tetapi gagal.

Dalam Kongres GSM Dunia 2022, manajemen IOH diminta membuka rahasia keberhasilannya yang diharapkan jadi masukan bagi rencana merger berbagai operator.

Juga bagi XL Axiata dan Smartfren, yang masih berkutat pada tahap saling taksir, belum ada sama sekali kesepakatan atau lamaran.

Menentukan mayoritas

Merger selalu memasalahkan siapa yang akan didatangi dan siapa yang akan mendatangi, menyangkut berapa besar valuasi masing-masing. Ada juga seberapa jauh nafsu operator untuk jadi mayoritas yang perlu dukungan finansial yang besar.

Dalam merger Indosat – Hutchison, ada kegiatan top up sebesar 6 miliar dollar AS (Rp 90 triliun) yang disebutkan Menkominfo (waktu itu), Johnny G Plate sebagai transaksi terbesar di dunia seluler pada 2021.

Merger terbukti meningkatkan pendapatan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) pada semester pertama 2022 menjadi Rp 46,8 triliun dari target sekitar Rp 41 triliun, dengan laba Rp 2,66 triliun.

Komposisi pemegang saham IOH pada 5 Januari 2022, Ooredoo Asia 65,64 persen, Perusahaan Pengelola Aset (PPA) 9,63 persen, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia (TTI) 10,77 persen, Dani Buldansyah 0,003 persen, masyarakat sisanya 13,95 persen.

Susunan pemegang saham berubah dari hari sebelumnya, 4 Januari 2022, pemegang sahamnya Ooredoo Asia 43,81 persen, PPA 9,63 persen, TTI 10,77 persen, dan Buldansyah 0,003 persen, Hutchison Asia 21,65 persen, sisanya masyarakat.

Kesepakatan terbesar terjadi antara Ooredoo Asia dan Hutchison Asia yang akhirnya melahirkan susunan pemegang saham seperti diputuskan perusahaaan pada 5 Januarri 2022.

Kesepakatan semacam ini yang tampaknya menjadi ganjalan berjodohnya XL Axiata dan Smartfren yang berlarut-larut.

Masalahnya, siapa yang akan menjadi pemegang saham terbesar, siapa yang harus top up agar pemilikan saham setidaknya berimbang. Tidak mudah diputuskan, baik oleh Axiata maupun Kelompok Sinar Mas.

Sejak isu merger muncul di dunia maya sebelum ada IOH, manajemen XL Axiata mewakili pemiliknya mengatakan, mereka mau kalau bertindak sebagai mayoritas.

XL boleh bicara begitu, karena dari penampilannya mereka lebih besar, lebih luas jangkauan dan pendapatan serta labanya lebih besar dibanding Smartfren.

Namun Si Kecil Cabe Rawit Smartfren berniat sama, bahkan kalau harus top up. Induk operator itu, Sinar Mas, punya ratusan jenis usaha di berbagai bidang yang bisa mengucurkan dana berapa pun.

Ke Telkomsel dan IOH

Axiata akan bersikeras sebagai pemegang saham pengendali, seperti saat ini 65 persen di XL Axiata. Kira-kira Sinar Mas harus memasukkan modal berapa untuk imbangi Axiata, sementara di IOH, baik Ooredoo maupun Hutchison sama-sama top up.

Pelanggan XL Axiata 58 juta, Smartfren 38 juta, XL punya BTS 150.000 lebih, Smartfren 43.000.

Capex (capital expenditure – biaya modal) XL tahun ini Rp 8 triliun, Smarfren Rp 3 triliun. Pendapatan XL pada semester 1 tahun ini mencapai Rp 15,76 triliun laba Rp 650 miliar, Smartfren Rp 2,79 triliun menderita rugi Rp 163,23 miliar.

Tampaknya terlalu jauh upaya Smartfren mengimbangi XL untuk kawinan. Posisi kedua operator pun masih jauh di bawah IOH apalagi Telkomsel, baik dalam kepemilikan pelanggan, spektrum frekuensi dan pendapatan.

Jumlah spektrum frekuensi keduanya jika digabung – tanpa pemerintah tega ambil sebagiannya seperti akusisi XL Axiata ke Axis atau merger IOH – selebar 56 MHz di FDD (frequency division duplexing) X 2 = 112 MHz dan 40 MHz di TDD (time division duplexing).

Bandingkan dengan IOH yang punya 135 MHz FDD saja, Telkomsel 145 MHz FDD dan 50 MHz TDD.

Namun sebenarnya tanggung kalau Menkominfo hanya memaksa XL Axiata dan Smartfren merger. Mengapa tidak keduanya disuruh merger dengan IOH atau Telkomsel, sehingga industri jauh lebih efisien dan kompetitif dengan dua operator?

Merger selain efisien karena belanja modal, operasional, SDM dan sebagainya bisa digabung, juga mengurangi jumlah pelanggan seluler. Saat ini dengan jumlah penduduk sebanyak 287 juta, ada 346,7 juta kartu SIM aktif, atau seorang rata-rata punya 1,2 kartu SIM yang berbeda.

Merger akhirnya memaksa pelanggan hanya punya satu kartu SIM dari satu operator, kecuali pelanggan operator yang membeda-bedakan segmen pelanggan dengan tarif berbeda.

Telkomsel pernah melakukan pembersihan, menghapuskan kartu yang tidak aktif dan jumlah pelanggan turun dari 170 juta menjadi 166 juta, tetapi efeknya ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari per pelanggan) naik.

https://tekno.kompas.com/read/2023/10/11/06421127/merger-operator-seluler-kenapa-harus-jadi-tiga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke