Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

KPPU Sebut Pembuktian "Predatory Pricing" Starlink Butuh Proses

KOMPAS.com - Kehadiran layanan internet Starlink milik Elon Musk di Indonesia tengah mendapat sorotan. Pasalnya, ada kekhawatiran Starlink melakukan predatory pricing atau menjual produk dengan harga terlampau rendah. 

Hal ini mencuat setelah Starlink menggelar diskon perangkat sebesar 40 persen dari harga jual aslinya, yaitu dari Rp 7,8 juta menjadi Rp 4,68 juta. Diskon ini berlaku hingga 10 Juni 2024 mendatang. Sementara biaya langganan internet satelit Starlink paling murah adalah Rp 750.000 per bulan.

Harga layanan yang diterapkan Starlink di Indonesia sejatinya memang lebih murah dari di negara asalnya, yaitu di Amerika Serikat (AS).

Untuk layanan Residensial, misalnya, layanan Starlink di AS dibanderol dengan harga 120 dollar AS (sekitar Rp 1,9 juta) per bulan, dengan harga perangkat mencapai 599 dollar AS (sekitar Rp 9,7 juta).

Hal ini memunculkan kekhawatiran permainan harga yang akan membuat iklim bisnis internet di Indonesia menjadi tidak sehat.

Namun, menurut anggota Komisi Perdagangan dan Persaingan Usaha (KPPU), Hilman Pujana, mengatakan bahwa apa yang dilakukan Starlink di Indonesia belum tentu dikategorikan sebagai predatory pricing.

Sebab, ia menyebut ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi supaya KPPU bisa mengkategorikan suatu usaha melakukan permainan harga, dan Starlink dianggap tidak memenuhi syarat tersebut. 

"Dari sisi praktik, predatory pricing butuh proses, bukan hanya bicara 'orang jual lebih murah'. Bukan seperti itu konsepnya, ada beberapa syarat sebelum bisa disebut predatory pricing," kata Hilman ketika ditemui KompasTekno dalam acara Focus Group Discussion yang dilakukan KPPU di Jakarta, Rabu (29/5/2024).

"Artinya, penggunaan istilah predatory pricing ini harus hati-hati. Harga murah jangan langsung dituduh predatory pricing," imbuh Hilman. 

Hilman tak menyebutkan syarat atau faktor apa saja yang menjadi penanda bahwa suatu perusahaan melakukan kegiatan predatory pricing.

Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Ine Minara menjelaskan bahwa kegiatan predatory pricing harus dibuktikan melalui sejumlah pengujian.

Salah satu yang mungkin dilakukan adalah dengan cara menganalisis proses dan kegiatan bisnis suatu perusahaan dalam waktu tertentu. 

"Predatory pricing merujuk pada penetapan harga dengan niat menyingkirkan pesaing. Hal ini diterapkan untuk memonopoli pasar hingga semua pesaing tersingkir, tetapi setelah itu perusahaan tersebut harus mampu memulihkan kerugian yang diderita selama masa predatory pricing," kata Ine di acara yang sama.

Ine melanjutkan bahwa harga diskon yang kini diterapkan Starlink di Indonesia juga bukan merupakan salah satu penanda bahwa mereka melakukan predatory pricing.

"Diskon Starlink ini kan ada batas waktu sampai 10 Juni 2024. Nah, ini bukan predator, kalau predator itu dia melakukan permainan harga sampai jangka waktu tak terbatas, sampai kompetitor tersingkir," tambah Ine.

Keluhan terhadap harga

Terlepas dari predatory pricing namun masih tetap berkaitan dengan harga, Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) mengatakan bahwa harga layanan yang diterapkan Starlink di Indonesia sejatinya memang lebih murah dari negara markas Starlink, yaitu di Amerika Serikat (AS).

Untuk layanan Residensial, misalnya, layanan Starlink di AS dibanderol dengan harga 120 dollar AS (sekitar Rp 1,9 juta) per bulan, dengan harga perangkat mencapai 599 dollar AS (sekitar Rp 9,7 juta).

Di Indonesia, harga layanan Residensial dipatok di angka Rp 750.000 per bulan, dengan harga perangkat saat ini (hingga 10 Juni 2024) sebesar Rp 4,68 juta (diskon 40 persen dari harga awal Rp 7,8 juta). 

Sementara untuk paket bisnis Starlink dibanderol dengan harga termurah 140 dollar AS (sekitar Rp 2,2 juta) per bulan, dengan harga perangkat mencapai 2.500 dollar AS (sekitar Rp 40,6 juta).

Di Indonesia, paket Bisnis memiliki harga perangkat yang sama dengan paket Residensial, namun harga layanannya sedikit lebih tinggi dengan banderol termurah Rp 1,1 juta per bulan.

Dalam kesempatan yang sama, Sekjen ASSI, Sigit Jatiputro mengatakan harga Starlink ini juga sebenarnya sudah jauh lebih murah dari apa yang ditawarkan VSAT lokal, selain memang lebih murah dari harga AS.

Harga salah satu layanan VSAT lokal MangoeSky, misalnya, termurah dibanderol di angka Rp 3,6 jutaan. Nah, harga Starlink yang lebih murah ini tentunya akan berdampak pada bisnis VSAT lokal di Indonesia.

"Menurut saya, existing player Indonesia di segmen VSAT akan mengalami penurunan penjualan, meski Starlink baru 1-2 minggu masuk ke Indonesia. Harga murah ini membuat pemain existing berpotensi tidak bisa tumbuh," kata Sigit.

Sigit tak menyebut kapan Starlink bisa mengancam bisnis VSAT lokal, atau mungkin penyedia layanan internet berbasis kabel fiber optik. Namun, hal ini bisa terjadi ketika Starlink mulai melakukan ekspansi terhadap kapasitas internet satelit mereka.

Sigit juga memperkirakan bahwa pemain VSAT dalam negeri kemungkinan akan tumbang dalam satu tahun ke depan.

"Jika suatu saat Starlink melakukan expand kapasitas satelit, maka bisnis ISP atau VSAT lokal mungkin tidak akan bertahan, dan Starlink mungkin tidak digunakan di area terpencil saja, melainkan juga perkotaan. Namun, dominasi Starlink di masa depan ini tidak diperkirakan secara pasti," pungkas Sigit. 

https://tekno.kompas.com/read/2024/05/30/11310027/kppu-sebut-pembuktian-predatory-pricing-starlink-butuh-proses

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke