Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tolak Blokir X

“Kami tentunya akan memblokir platform tersebut (apabila menyiarkan konten pornografi),” ujar Budi kepada Reuters, sebagaimana dikutip KompasTekno, Selasa (18/6/2024).

Pernyataan Menkominfo ini merupakan respons atas pernyataan bos X, Elon Musk, yang pada pekan sebelumnya mengatakan X mengizinkan konten dewasa untuk dibagikan di platformnya.

Konten dewasa memang merupakan barang ilegal di Indonesia karena dilarang dalam UU Pornografi maupun UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pada medio 2016-September 2023, Kominfo mencatat telah memblokir 1,21 juta situs dan lebih dari 737.000 konten media sosial berisi pornografi di internet.

Konten dewasa dalam beberapa keadaan memang sangat berbahaya. Misalnya, bila diakses oleh anak-anak, atau jika berisi storyline yang merendahkan perempuan, ataupun ketika konten disebarkan tanpa persetujuan (consent) pemilik tubuh.

Namun, apakah langkah pemblokiran terhadap X benar-benar bisa mencegah dampak buruk di atas? Atau malah menciptakan masalah baru?

Problem moderasi konten X

X (dulu Twitter), selama ini banyak mendapat kritik dari pegiat hak asasi manusia (HAM) karena platformnya seolah menjadi sarang penyebaran konten kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Sebelum menyatakan memperbolehkan konten dewasa, X memang tidak memiliki aturan yang secara tegas melarang maupun mengizinkan penyebaran konten ini di platformnya.

Namun, sejak Desember 2021, X sudah memiliki aturan yang jelas melarang penyebaran KBGO, khususnya konten intim non-konsensual (NCII):

“Anda tidak boleh mengunggah atau membagikan foto-foto atau video-video intim seseorang yang diproduksi atau didistribusikan tanpa persetujuannya,” begitu bunyinya.

Meskipun demikian, pada praktiknya, konten-konten NCII masih banyak sekali beredar di platform tersebut.

Teknologi moderasi konten otomatis yang dimiliki platform tersebut terkesan tidak berdaya dalam membedakan mana konten dewasa konsensual dan mana yang non-konsensual.

Oleh karena itu, pelaporan harus dibuat manual oleh manusia. Namun, prosesnya tidak kilat. Ada jeda waktu cukup lama antara pembuatan laporan hingga konten benar-benar dihapus.

Selama jeda waktu ini, konten NCII sangat rawan dapat terus menyebar luas, bahkan ke situs-situs maupun kanal-kanal lainnya.

Diizinkannya penyebaran konten dewasa di X tanpa evaluasi berarti atas ketidakberdayaan X membendung penyebaran konten-konten NCII selama ini menimbulkan kekhawatiran penyebaran NCII maupun konten KBGO lainnya di platform itu akan semakin parah.

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa dalam aturan terbarunya, X menulis larangan terhadap “Konten yang mempromosikan eksploitasi, penolakan, objektivikasi, seksualisasi, pelecehan terhadap anak di bawah umur, dan perilaku cabul.”

Blokir medsos pelanggaran HAM

Kominfo sebelumnya sudah pernah memblokir Vimeo dan Reddit karena dianggap memfasilitasi penyebaran konten dewasa. Semangat ini yang tampaknya dibawa kembali ketika menanggapi kebijakan konten dewasa X yang baru.

Saat ini, Kominfo memang memiliki basis legal untuk memblokir platform media sosial yang dianggap melanggar hukum di Indonesia.

UU ITE versi terbaru mempersenjatai Kominfo dengan Pasal 40 ayat (2b) yang menyatakan pemerintah berwenang melakukan pemblokiran akses, penutupan akun, dan penghapusan konten yang memiliki muatan melanggar hukum.

Kominfo bisa saja berdalih bahwa pemblokiran X merupakan bagian dari upaya memberantas pornografi. Namun, pandangan-pandangan skeptis bahwa pemblokiran ini sebagai langkah negara untuk mengontrol suara-suara kritis di X juga valid rasanya.

Apalagi, selama ini, X kerap menjadi ruang aktivisme digital yang mampu memobilisasi massa di ruang fisik (seperti saat Reformasi Dikorupsi dan Tolak Omnibus Law), mendorong pengungkapan berbagai ketidakadilan sosial lewat slogan "no viral, no justice" (kasus Mario Dandy, berbagai kekerasan seksual, dan perundungan), hingga menjadi ruang diskursus berbagai persoalan sosial-politik lainnya.

Tanpa X, ruang bagi warga untuk berekspresi dan membaca diskursus kritis menjadi sulit ditemukan.

Pasalnya, media sosial terpopuler lainnya di Indonesia seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan Tiktok, mengandalkan konten-konten visual (gambar dan video), bukan tulisan seperti X.

Pemblokiran X dapat dianggap sebagai "internet shutdown", yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Collateral damage yang akan dihasilkan luar biasa bagi kebebasan berekspresi dan hak atas informasi 24,69 juta pengguna X di Indonesia (jumlah berdasarkan DataReportal).

Menurut Access Now, "internet shutdown" adalah “Gangguan internet atau komunikasi elektronik yang disengaja, sehingga tidak dapat diakses atau digunakan secara efektif, terhadap populasi atau dalam lokasi spesifik, seringkali dengan tujuan mengontrol arus informasi secara maksimal”.

"Internet shutdown" secara eksesif membatasi hak warga untuk bebas berekspresi dan mengakses informasi. Kedua hak tersebut memang merupakan derogable rights yang artinya dapat dibatasi.

Namun, pembatasan harus dilakukan dengan melakukan uji three part-test terlebih dahulu, yaitu asas legalitas, asas proporsionalitas-nesesitas, dan memiliki tujuan yang jelas.

Pemblokiran X jelas melanggar asas proporsionalitas. Bukan hanya penyebar konten dewasa yang menanggung akibatnya, tetapi seluruh pengguna X yang tidak melakukan pelanggaran hukum apapun.

Mengutip Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, “Kominfo memilih untuk membakar seluruh lumbung padi ketimbang menghancurkan sarang tikusnya”.

Pada akhirnya, seluruh lumbung padi akan terbakar habis. Tidak ada lagi aktivisme berbasis tagar di trending topic.

Tidak ada lagi perdebatan politik panas tanpa pembedaan antara tokoh publik dan orang biasa.

Warga tidak lagi dapat berkomunikasi, mengakses informasi terbaru, dan menikmati hiburan di platform X.

Influencer, selebtwit, dan pengusaha yang selama ini menggantungkan hidup di X harus kehilangan sumber penghasilan.

Sementara itu, “tikus-tikus” yang menyebarkan konten pornografi, konten NCII, dan meraup untung dari itu hanya perlu “lumbung-lumbung lain”, beradaptasi, dan terus menikmati keuntungan.

Kominfo harus apa?

Penulis berpendapat, memblokir platform bukanlah solusi yang tepat untuk ini. Justru memblokir platform akan menciptakan masalah baru. Sebagai alternatif, terdapat tiga hal yang dapat dilakukan oleh Kominfo.

Pertama, Kominfo dapat berkomunikasi dengan X dan meminta platform tersebut menyesuaikan peraturan di platformnya dengan hukum di Indonesia.

Penyesuaian ini sebenarnya sudah dilakukan Kominfo dengan platform lainnya seperti Google. Google telah memoderasi berbagai konten bermuatan pornografi di mesin pencarinya, sehingga tidak dapat diakses di Indonesia.

Meminta platform untuk memperbaiki moderasi kontennya ini menjadi satu langkah yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan ketaatan terhadap peraturan hukum yang ada di Indonesia.

Kedua, Kominfo perlu fokus memberantas konten dewasa yang bersifat non-konsensual (NCII) karena kerugian mendalam yang dialami oleh korbannya.

Untuk itu, Kominfo harus memperkuat kerja samanya dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang selama ini fokus mendampingi korban NCII untuk memahami gap apa saja yang selama ini masih ada dalam mekanisme moderasi konten maupun kanal pelaporan yang dimiliki platform digital.

Selain itu, Kominfo dan OMS juga dapat berkolaborasi melakukan riset dan pemantauan untuk mendapatkan data-data kualitatif maupun kuantitatif yang benar-benar akurat mengenai NCII.

Data-data ini nantinya akan sangat berguna untuk melakukan advokasi bersama ke platform digital.

Terakhir, Kominfo harus ikut membantu korban NCII dalam meminta pertanggung jawaban platform digital.

Pada 2014 lalu, di Irlandia, seorang anak berusia 14 tahun berhasil memenangi tuntutan di pengadilan dan mendapatkan kompensasi dari Facebook usai seseorang mengunggah foto telanjangnya di Facebook Page.

Sayangnya, di Indonesia belum ada mekanisme yang jelas untuk menuntut pertanggung jawaban platform digital. Pembuatan regulasi dan mekanisme ganti rugi bagi pengguna ini yang seharusnya dilakukan Kominfo.

Memblokir X sama saja dengan melepaskan platform tersebut dari tanggung jawab yang seharusnya ia pikul.

Ketiga hal di atas hanya dapat dilakukan apabila Kominfo dan X memiliki semangat yang sama: menjamin kebebasan berekspresi dan keamanan pengguna X di Indonesia.

Tanpa semangat itu, hanya akan ada dua skenario yang terjadi: seluruh lumbung hangus terbakar atau seluruh padi habis dimakan tikus. Tolak blokir X!

https://tekno.kompas.com/read/2024/06/20/10450777/tolak-blokir-x

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke