Bocah yang Tercatat di Malam Legian
Apa yang dibayangkan
Daun-daun di pinggir tanjung
Ketika tubuhku menolak hujan
Tak ingin jadi kerikil
Atau pena yang mencatat nama seorang bocah
Sepanjang tikungan di Legian
Lampu-lampu lupa tidur
Dinding jalanan punya warna lain
untuk balon-balon pesta
dalam remang caffe
Katak melompat
Suara air di pasang gelombang
Di kolam
Kata-kata muncul lalu tenggelam
Seperti bibir pucat anak itu,
terkatup warna awan
kehilangan kawan
Anak itu masih menunggu di bangku kayu
Ia kira sebentar gerimis jadi salju
Kota-kota jadi putih
Dinding kuta galleria jadi jembatan megah kota Paris
Atau dirinya jadi burung-burung
Riang terbang di menara katredal Notredame
Wangi magnolia dalam aroma anggur
tak sampai kesini
Anak itu tak juga bergegas
tak merasa cemas
Seolah hujan yang berpendar bersama warna pagi
Adalah anggur kiriman ayahnya dari polandia
Ujung topi merah gincu pudar
Bukan karena rumput atau salju di angan
Namun api pengganti balon penghias pesta
Jalanan sepanjang Legian tertidur
Juga lampu-lampu
Sebentar lagi
Anak itu tercatat
dalam sajak-sajak Legian
-------
Sajak Kawan yang Nun
Kawan,
Kini apa lagi yang membedakan hari
kecuali sebuah nama
di kota megah,
kita seperti
pengembara yang salah arah
tak tahu kemana mesti pergi
tapi tetap berlari dan mencari
bercakap di tengah lapang
di antara angin malam
seolah kita milik alam
meski kacau kita tetap mengigau
memang serasa haru
percakapan tentang masa lalu
sebuah pertemuan yang sulit terulang
perpisahanan tak lagi terbayangkan
setelah ini
ke arah mana kita akan melangkah
angin mana yang mengabarkan perjalanan kita
dimana pertemuan terulang
perjamuan nasib baik dan kawan yang kembali
hanya dengan kenangan
kita bermimpi tiap malam
tentang enam belas pengembara
yang mencari jejak kearah mana sajak berpijak
berkisahlah tentang kita pada siapapun yang suka berangan
yang ingin bersama angin
--------
Malam di Apuan
Bu, aku tak bisa tidur
Di meja kaca
Cahaya bulan tak sampai juga
Kau lihat payung putih itu, ibu
Jari-jariku tergoda untuk bermain
menulis sesuatu di kertas ini
kata-kata berputar lebih cepat dari payung itu
bisa kau rasakan gigil tubuh ini, ibu
kaca jendela itu menjauh
melihat wajahku tanpa cahaya
Bu, aku tak bisa tidur
Mari kita bersulang segelas bir merah
mabuk dalam alunan tango
biar Apuan sehari jadi milik kita
kita bangunkan semua waktu, ibu….
---------
Catatan di Dinding
di silang tiga jembatan
denpasar-buleleng
ada banyak cerita dan kata
tak habis kucatat
untuk kuisi di halaman terakhir
sajakku yang menghilang
biarlah anggur-anggur
membagi cerita dan kata
sebab tanganku tak lagi
memahami dingin daun-daun
biarlah sajak ini menulis
membuat kisah sendiri
siapa peduli,
sekawanan serangga tak berharga
tak pernah sampai di buleleng
--------
Kota di Utara Peta
Kepada penyair suwija
Pena biru sendiri
di depan cermin
ingin menulis sesuatu
tentang kota di utara peta
Ingin berucap
Tentang sepasang kekasih
Semalaman menabur kata-kata
di langit hijau lovina
adakah putri duyung
menyamar ikan merah jambu
membujuk pelaut-pelaut muda
dengan taman penuh gardenia
adakah jalan lain
ke ambang sajak
tempat penyair mabuk
bersama sekawanan serangga kecil
bersama pena yang sendiri
di depan cermin
di kuil terpencil
seekor lebah lelah, tertunduk
berharap ada pesan di dinding :
jalan lain ke kota di utara peta
-----------
Menanti Denting Lonceng
Kau dan aku, hanya pena
Menanti denting lonceng
Di atas meja kayu berdebu
Kau tinggalkan
Serpih kertas murung
Tak ada sajak
Mati tak berjarak
Hidup pun jadi retak
“ tuhan aku lupa nama kecilku”
bisikmu setengah cemas
tak tahu, entah kapan
lonceng akan berdenting untukku
atau mungkin hanya untukmu
---------
Surat untuk Pak Tulus
Pak, anak itu baru lima tahun
Sejak pagi tangannya tak melepas
Buku kecil itu
Sambil meraba sisa mimpi
Matanya ingin bercerita
Ada wajah yang ia kenal
Bibirnya menghafal sebaris kalimat
Adakah itu tulisan tuhan?
Ia setengah tak percaya
Pak, anak itu baru lima tahun
Ia percaya ibunya, malaikat dari negeri peri
Ayahnya, santa klaus
Mengirim mainan tiap malam
Anak itu melamun di bangku kayu
Neneknya melambai di kejauhan
Sepiring roti kismis
Segelas susu manis
Berdenting dalam mimpi mereka
Di saku,
Ada dua koin keberuntungan
Satu untuk hatinya yang bimbang
Satu untuk jalanan yang panjang
Pak, anak itu baru lima tahun
Tuhan terlanjur memberinya umur
terlanjur kau panggil chairil
ia minta puisi sedikit
dari ibu juga nenek
sekadar penghilang sakit
---------
EMPAT PULUH KILOMETER DARI DENPASAR
sebaris kata terbaca dalan angan
hanya dalam angan
kini tertulis di papan perhentian
empat puluh kilometer dari denpasar
Jauh di utara, di simpang tiga
Perjamuan bagi puisi dan nasib baik
Sempat kuingat, kucatat namanya
Tapi aku lupa di tikungan mana
Buleleng tertulis dalam sajakku
Saat anggur-anggur berbagi dingin
menyeka warna hujan
Saat tak ada ada lagi suara burung brudu
Atau tikus jalanan yang suka menipu
Pura-pura lapar tak tertahan
Embun pada ungu paulonia
Sampai juga di lovina
Sayang bukan dalam sajakku
Bukan juga dalam hujan
Milik petani anggur
Milik siapa,
payung-payung biru
yang melesat di antara angin
Berputar serupa semut yang sesat
di sela rumput,
Mencari jalan ke buleleng
Sebelum hari jadi pagi
Seekor kumbang terbang
Melintas di atas teluk terima
Sepasang kekasih ragu-ragu beradu
Menari dalam hujan
Seakan tahu, sebentar lagi
Akan tertidur dalam kubur
Serupa jayaprana layonsari
Mungkinkah ada cinta suci di buleleng?
--------
Suara di Utara
suara di utara
mirip sajak yang kutulis hari ini
suara di utara
mirip bulan desember, selalu kehilangan hari
entah dua atau tiga kali
aku tak pernah tahu
juga umurku
suara di utara,
mirip suara ibuku, selalu lupa punya nama
sebab anak yang ingkar janji
tak ada suara, tak ada jejak
untuk kucatat di utara
--------
Embun yang Membeku di Tangan
Jika embun mulai membeku
di garis tanganmu
bermimpilah dengan cahaya anggur
yang dibiaskan bulan dalam kabut
nyala lilin tak cukup waktu
buat hangatkan ini tubuh
dalam kamar
samar wajah sebuah gambar
seseorang masih terjaga
bibirnya meraba kata-kata
yang tak sempat terbaca
setengah cerita tenggelam dalam malam
kata dalam cerita
mungkin sesekali ingin terbang
melepas seperti kunang-kunang
sebab ia mau cahaya sampai di semua celah
untuk mereka yang punya arah dan melangkah
jika embun mulai membeku ditanganmu
nyala lilin tinggal sebatas angan
habiskan kertas
kita cari hangat dalam sajak-sajak
meski hanya sebatas cemas
Ni Ketut Sudiani. Beberapa puisi dan esainya pernah dimuat di Bali Post, Media Indonesia, dan Jurnal Sundih.
Kini tergabung dalam club studi, Komunitas Sahaja.
Buku Antologi yang pernah memuat karya saya :
1. Buku Kumpulan Esai 10 Finalis dan Lima Nominator, Lomba Menulis Esai tentang Lingkungan, Kementrian Lingkungan Jakarta, tahun 2006
2. Buku Antologi Puisi “Jalan Angin” tahun 2006
3. Buku Antologi Puisi “Kota di Utara Peta” tahun 2007
4. Buku Antologi Puisi “Seratus Puisi terbaik, INTI dpp Jakarta” tahun 2007
5. Buku Perjalanan Kreatif “Waktu Tuhan” Made Wianta, tahun 2008
6. Buku Antologi Puisi “Kampung Dalam Diri”, tahun 2008