Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merger, Akuisisi, atau Tumbang

Kompas.com - 19/12/2008, 11:07 WIB

Beban operator juga makin tinggi dengan munculnya kendala di daerah, terutama yang berkaitan dengan pembangunan menara. Banyak pemerintah daerah yang memberlakukan macam- macam aturan yang dasarnya mencari tambahan pendapatan asli daerah (PAD). Kebijakan ini akhirnya memberatkan operator baik dari segi masa pembangunan maupun segi finansial.

Operator kini tak lagi mampu mengontrol pelanggannya yang makin tidak setia. Harga kartu perdana murah, selain kewajiban registrasi tanpa penegakan hukum, membuat pelanggan memperlakukan kartu perdana sebagai kartu panggil, begitu habis pulsanya kartu dibuang.

Kemampuan operator menjaring pelanggan menurun karena hanya sekitar 30 persen—bahkan ada operator yang mencatat hanya 10 persen—pelanggan yang mengisi ulang kartu perdananya. Ini berarti dari 100 kartu perdana yang dijual, hanya 30 atau 10 yang masih bertahan menggunakannya.

Pengawasan lemah

Kecenderungan masyarakat membuang kartu perdana kosongnya juga akibat lemahnya pengawasan pemerintah dalam masalah registrasi.

Di beberapa negara, penjual perdana dari dealer, subdealer hingga ke pengecer harus punya komputer yang terhubung ke pusat. Di kita boro-boro komputer, modal saja mungkin tak lebih dari Rp 5 juta, bahkan ada yang Rp 100.000, hari ini jualan di sudut jalan A, besok di sudut jalan Q.

Ke depan, tanpa kerja sama yang baik antara regulator, pemerintah, dan operator, beban masyarakat akan makin tinggi dengan banyaknya kartu perdana yang dibuang. Jika untuk mendapat penambahan pelanggan murni 30 juta operator harus menerbitkan 120 juta kartu SIM perdana, setiap tahun 90 juta kartu akan terbuang percuma. Jika untuk satu perdana modal operator Rp 2.500, berarti kartu SIM seharga sekitar Rp 225 miliar akan hangus, yang pasti oleh operator dibebankan kepada masyarakat.

Tarif promosi saat ini sangat mustahil memberi kontribusi pada pendapatan operator. Misalnya Rp 1 per panggilan tak akan membuat usaha itu bertahan walau hanya sebagai tarif promosi untuk bisa menjaring pelanggan baru. Mustahil juga kalau operator berharap tarif pancingannya akan membuat pelanggan setia sebab pelanggan akan berpindah begitu ada tawaran lebih murah. Kini tinggal dilihat, sampai kapan napas operator-operator tadi bisa bertahan. Operator baru memang tidak punya kiat selain menawarkan tarif murah untuk menjaring pelanggan karena tawaran kehebatan jaringan dan fitur tak menggerakkan minat pelanggan. Apalagi, sasaran pemasaran saat ini adalah pelanggan kelas bawah dan daerah pinggiran yang sangat memperhitungkan besaran pengeluaran.

Persaingan

Ketatnya persaingan tidak menguntungkan semua pihak, tidak masyarakat dan tidak juga pemerintah. Beberapa waktu lalu pengamat memperkirakan dalam dua tahun akan ada operator yang tumbang, entah diakuisisi (dibeli operator lain), bergabung (merger), atau malah mati. Ramalan kini, tahun depan ini sudah akan ada yang lempar handuk, merger atau diakuisisi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com