Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Connect Now

Obsesi Perempuan: Anak Sukses dalam Pendidikan

Kompas.com - 05/12/2010, 14:41 WIB

Oleh Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc)
Bersama Nastiti Tri Winasis (Chief Operations, MarkPlus Insight)

KOMPAS.com - Ada suatu fenomena yang menarik bahwa salah satu kekhawatiran perempuan (dalam hal ini ‘Ibu’ – menikah dan mempunyai anak) adalah masalah pendidikan anak. Hal ini ditunjukkan oleh data survey MarkPlus Insight pertengahan tahun 2010 di mana sebanyak 10,5 persen dari sejumlah 1.301 perempuan Indonesia di kota besar khawatir terhadap masalah pendidikan anak mereka. Bila ditelaah lebih jauh, perempuan single parent mempunyai kekhawatiran terhadap masalah pendidikan anak yang jauh lebih tinggi dibanding perempuan dengan pasangan yang masih hidup. Mengapa pendidikan menjadi concern mereka?

Idealnya, pendidikan anak menjadi tanggung jawab suami dan isteri. Bahkan, mayoritas hasil riset mengenai pendidikan anak menunjukkan bahwa anak yang dididik secara bersama-sama oleh ayah dan ibunya (dalam hal ini porsi tanggung jawab suami dan isteri adalah sama) menunjukkan perkembangan aspek kognitif maupun emosi yang optimal dibanding hanya dididik oleh salah satu orang tua atau oleh kedua orang tua tetapi dalam porsi yang tidak seimbang.

Perempuan dan laki-laki ibarat “Yin” dan “yang”. Apabila kombinasi Yin dan Yang berada dalam persentase yang sepadan, maka akan tercapai suatu keseimbangan. Salah satu akan menutup kekurangan dari yang lain.

Namun demikian, fenomena saat ini menunjukkan adanya peran Yin yang lebih dominan dibanding Yang. Dari angka 100 persen, saat ini hanya ditemukan sekitar 30 persen saja anak yang dididik secara seimbang oleh ayah ibunya (seimbang antara Yin dan Yang); sementara 20 persen lainnya pendidikan anak didominasi oleh ayah (Yang); dan ironisnya 50 persen pendidikan anak didominasi oleh ibu (Yin). Mengapa porsi pendidikan anak bagi perempuan menjadi begitu besar? Adakah hal ini berhubungan dengan kekhawatiran mereka apabila anaknya gagal dalam pendidikan kemudian akan gagal dalam menghadapi kehidupan di masa mendatang? Bagaimana dengan laki-laki?

Bila kita tanyakan, mengapa kelompok laki-laki alias ”Yang” kurang ‘interest’ terhadap masalah pendidikan anak? Kebanyakan dari mereka merasa terlalu sibuk untuk memikirkan urusan pendidikan anak, sehingga mereka pasrah begitu saja kepada perempuan. Ada juga yang berdalih kewalahan menghadapi sikap anak yang tidak bisa dihandle dengan baik. Alih-alih urusan memarahi anak menjadi urusan perempuan juga.

Perempuan menikah dan mempunyai anak (baca: ibu) di Indonesia meletakkan prioritas pendidikan untuk anak-anaknya begitu tinggi. Lalu apa implikasinya? Yang jelas perempuan yang merupakan para ibu di Indonesia kemudian cenderung tidak price-sensitive dan lebih berorientasi pada kualitas kalau sudah memutuskan pendidikan untuk anak-anaknya. “Pendidikan adalah modal utama bagi penerus kami untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah,” kata beberapa perempuan saat diwawancara.

Mengapa masa depan yang cerah bagi anak-anaknya begitu penting? Ya, kembali lagi adalah pada perubahan nasib. Perempuan akan bangga jika anaknya sukses dalam pendidikan dan syukur-syukur jika bernasib lebih baik dibanding orang tua mereka.

Dalam konteks mendidik anak, yang tak kalah penting bagi perempuan adalah aspek child enrichment alias pengembangan diri si anak. Seorang perempuan menikah (baca: ibu) menginginkan anaknya tumbuh menjadi pintar, sukses dan juga bahagia.

Kebutuhan ini ditangkap secara cerdas oleh produsen berbagai produk yang dalam kegiatan komunikasinya menonjolkan aspek “jaminan kesehatan” dan “jaminan kebahagiaan”.

Sudah bukan rahasia lagi apabila banyak produk yang ditujukan untuk anak-anak melalui pendekatan yang menyentuh sisi emosi ibunya. Di sini produk yang ditujukan untuk anak kemudian seolah-olah harus memiliki dua selling points, yaitu harus dapat menjamin kesehatan/keselamatan anak-anak dan juga dapat membuat mereka bertambah cerdas dan bahagia. Jika seorang Ibu membeli mainan yang juga mendidik maka dia akan merasa bahwa telah melakukan sesuatu yang berharga bagi anaknya.
Menarik untuk mengamati fenomena maraknya pertumbuhan homeschooling (Sekolah Rumah) di Indonesia.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com