Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
INDUSTRI KREATIF

Mereka Berjuang Sendiri dari Cimahi

Kompas.com - 05/08/2011, 02:52 WIB

Rudy Sutedja (47) hanya bisa mengurut dada ketika film animasi Rollbots, Dr Frankenstein, atau Winnie the Pooh yang beredar di televisi Amerika Serikat nilainya mencapai 400.000 dollar AS per episode. Pasalnya, film-film animasi tersebut adalah hasil karya anak-anak muda Indonesia yang dibeli oleh perusahaan di Singapura seharga 100 dollar AS per episode

Para animator dari berbagai kota itu dihimpun sebuah perusahaan berbasis di Pulau Batam. Perusahaan ini diberi order oleh perusahaan Singapura yang langsung menjual produk animasi tersebut ke perusahaan di AS. ”Beberapa di antara animatornya berasal dari Bandung, termasuk dari Cimahi,” ujar Ketua Cimahi Creative Association (CCA) itu.

Rudy hanya ingin mengilustrasikan bahwa kemampuan teknis anak-anak muda kreatif dalam menyerap teknologi informasi dan komunikasi cukup tinggi. Hanya saja, mereka harus berjuang dan berkembang sendiri karena belum ada regulasi yang mendukung kreativitas mereka. Itu pengalamannya membina sekitar 1.000 pelaku industri kreatif yang diwadahi oleh CCA sejak tahun 2009.

Padahal, industri kreatif sangat prospektif dan strategis. Volume bisnis yang dilakukan anak-anak CCA, misalnya, bisa mencapai Rp 10 miliar per tahun. Seandainya Kota Cimahi, Jawa Barat, tidak mengembangkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) warganya, bisa saja gejolak sosial bermunculan.

Pasalnya, kota yang luasnya hanya 4.036,5 hektar ini sudah dihuni sekitar 600.000 jiwa. Kepadatan kota yang mencapai sekitar 150 orang per hektar telah melampaui standar kepadatan penduduk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 97 jiwa per hektar.

Karena itu, pola pembangunan kota yang dijepit oleh Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat itu diarahkan ke industri kreatif melalui Cimahi Cyber Creative City. Bidang unggulannya teknologi informasi dan komunikasi, animasi, serta film yang diwadahi oleh CCA.

Promosi negara

Akan tetapi, dalam perjalanannya, banyak sekali hambatan alias tidak semudah membalik telapak tangan. Industri animasi, misalnya, yang kini dijalani sekitar 1.000 komunitas itu memang terus berkembang, tetapi tidak dikawal regulasi yang mendukung. Karena itu, pasarnya sementara diarahkan ke iklan-iklan televisi.

”Kami bukan tak bisa membuat film animasi berkarakter lokal, tetapi pasarnya tidak mendukung. Biaya produksi bisa Rp 70 juta, tetapi televisi hanya membeli seharga Rp 15 juta,” tutur Rudy Sutedja.

Ironisnya, selain dihargai murah, hak ekonominya juga diminta dan dipegang pengguna (televisi) sehingga produsen tidak bisa menjual lagi produknya ke televisi lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com