Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orang Indonesia di Balik Game "Assassin's Creed"

Kompas.com - 10/12/2012, 16:19 WIB

Di studio Ubisoft, sebagian besar tanggung jawab ini berada di pundak art director yang memberikan arahan seputar rancangan game pada sejumlah sub-bagian, termasuk character design dan level designer yang menjadi atasan Richard.

"Kalau diumpamakan, level designer membuat 'mangkuk' lingkungan dunia game berikut 'level box' yang mewakili obyek-obyek dalam dunia game. Level artist seperti saya kemudian mewujudkan dunia itu sesuai arahan," jelas Richard mengenai bidang pekerjaannya.

Dari situ, Richard bersama tim level artist memikirkan kira-kira arsitektur seperti apa yang sesuai dengan setting game, lalu bekerja membuat obyek-obyek dan lingkungan dalam game berdasarkan referensi yang didapat berikut limitasi interaksi dalam game yang ditetapkan oleh programmer.

Kadang proses ini bisa membuat pusing tujuh keliling. Richard memberi contoh salah satu level dalam game Assassin's Creed: Brotherhood yang menampilkan reruntuhan Colosseum di Roma, Italia, lengkap dengan ruang-ruang bawah tanahnya.

gamesradar.com Colosseum dalam game Assassins Creed: Brotherhood

"Kami harus membuat Colosseum sesuai dengan keadaannya pada abad ke-15, tahun 1400-an, sementara gambar-gambar referensi yang tersedia hanya dari tahun 2000-an," ungkap Richard. Kendati demikian, nyatanya di tengah keterbatasan itu tim pengembang Ubisoft tetap berhasil memvisualisasikan desain Colosseum yang megah.

Ketika itu, Richard antara lain bertanggung jawab membuat setting dungeon atau ruang tahanan bawah tanah di Colosseum yang juga dipakai sebagai arena kejar-kejaran menggunakan kuda di dalam game. "Proses pembuatannya lama sekali, tapi ketika dimainkan dalam game, lima menit saja level-nya sudah lewat, ha-ha-ha," ucap Richard.

Dalam proses pembuatan game, Ubisoft menerapkan sistem milestone atau target pencapaian dalam kurun waktu tertentu. Jika sudah dekat waktu deadline, Richard kerap lembur demi merampungkan pekerjaan.

Tantangan dalam melakukan proses desain lingkungan game itu pun selalu mengalami eskalasi dari judul ke judul. Menurut Richard, ini karena Ubisoft selalu meminta rancangan yang lebih detail untuk game berikutnya. "Pengerjaan dari Assassin's Creed II ke Brotherhood lalu setelah itu ke Revelations, misalnya, selalu harus disertai dengan peningkatan kualitas sehingga kami harus bekerja lebih giat lagi."

Saat semuanya sudah selesai, dunia game kemudian digabungkan dengan bagian-bagian lainnya, seperti karakter game hasil rancangan character artist dan fashion designer yang juga dibuat berdasarkan referensi faktual.

Hasil karya Richard bisa dilihat di serangkaian judul game dalam seri populer ini, mulai dari Assassin's Creed II, Assassin's Creed: Brotherhood, Assassin's Creed: Revelations, hingga yang terbaru Assassin's Creed III, yang tersedia untuk platform PC dan konsol game, seperti Xbox 360 dan PlayStation 3.

Gerilya

Richard mengaku menikmati bekerja di studio terbesar Ubisoft di Montreal. "Suasananya cair, kekeluargaan. Semua karyawan, misalnya, makan siang bersama tanpa memandang posisi atau jabatan."

Meski begitu, pria yang mengaku suka main game untuk melihat-lihat desain lingkungannya dan mencari inspirasi ini masih menyempatkan diri pulang ke Tanah Air dengan memanfaatkan waktu senggang antarpembuatan judul game.

"Kebetulan, sekarang lagi in-between, jadi bisa pulang ke rumah," ujar Richard ketika ditemui KompasTekno di sela-sela gelaran Indocomtech 2012 di Jakarta, November lalu. Saat itu, seri game terbaru yang turut ditangani Richard, Assassin's Creed III, memang telah rampung dan baru dirilis ke pasaran.

Soal industri game di Indonesia, Richard mengatakan bahwa sebenarnya terdapat banyak talenta berbakat di Tanah Air. Hanya saja, menurut Richard, di samping belum adanya investor besar yang berani mendanai pembuatan game seperti Assassin's Creed, ada hal lain yang sedikit mengganjal kemajuan dunia game Nusantara dalam mengembangkan game berskala besar.

"Banyak yang bagus, tapi kebanyakan dari mereka bergerak seperti pejuang gerilya zaman kemerdekaan, yaitu terpisah-pisah antardaerah. Seandainya saja bisa disatukan, tentu bisa kuat sekali," ujar Richard.

Bagaimana dengan para rekan seprofesi yang memutuskan untuk mengadu nasib di negeri orang, seperti Richard sendiri? Menurut dia, hal tersebut berkaitan dengan besarnya penghargaan atas karya mereka yang bisa diperoleh di luar negeri.

"Namanya juga memenuhi kebutuhan hidup. Di Indonesia banyak talenta pembuat game berkualitas internasional, tapi penghasilannya kurang. Seandainya keadaan itu berubah, pasti semua yang bekerja di luar negeri akan pulang kampung dengan senang hati," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com