Mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang digital, sekarang lebih keren disebut dengan istilah startup, memang bukan kegiatan yang mudah. Tapi bukan berarti tidak usah dilakukan.
Ia adalah kegiatan yang penuh dengan lika-liku dan daya upaya. Kadang, butuh dorongan ekstra untuk sekadar melalui satu hari saja.
Perjuangan ekstra itu, yang penuh “darah, keringat dan air mata” itu, bisa membuat seorang pendiri memiliki ikatan emosi yang mendalam dengan usaha rintisannya. Maka terasa janggal jika, pada suatu waktu, seorang pendiri memilih untuk meninggalkan usaha yang dirintisnya.
Tapi sesungguhnya hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Akan datang masanya saat usaha rintisannya mencapai tahap tertentu dan sang pendiri perlu melepaskan diri dari perusahaan yang telah dirintisnya itu.
Baik secara penuh-seluruh, dalam artian tidak lagi berada di dalamnya, ataupun sekadar mengambil peran yang lebih kecil dan membiarkan orang lain yang ambil kendali.
Seperti puisi Kahlil Gibran yang terkenal itu: anakmu bukanlah anakmu. Maka, startupmu bukanlah startupmu.
Kapan exit?
Wajar jika seorang pendiri startup merasa kesulitan lepas dari usaha yang dirintisnya. Namun rasa susah move on itu juga kadang dialami oleh pihak lain yang punya peran (dan tentunya saham) atas sebuah startup. Contohnya adalah pihak inkubator.
Seorang teman bertanya pada saya, kenapa ya inkubator startup di Indonesia senang sekali memegang portofolionya?
Maksud pertanyaannya adalah seperti ini, program inkubasi startup lazimnya mencakup perjanjian equity (kepemilikan saham). Persentase tertentu dari saham usaha rintisan yang mengikuti program inkubasi itu akan menjadi milik inkubator.
Nah, pertanyaan teman saya itu merujuk pada keengganan inkubator untuk melepaskan saham dari usaha rintisan tersebut pada saat startup itu sudah “lulus” inkubasi.
Tindakan yang populer dengan istilah “Exit” adalah ketika pemilik saham melepaskan seluruh sahamnya di usaha rintisan itu. Inkubator, kata teman saya, seharusnya Exit pada kesempatan pertama.
Kenapa? Karena dana yang didapat dari hasil Exit itu akan bisa digunakan untuk rombongan berikutnya yang masuk ke program inkubasi.
Masalahnya, kata saya, tidak semua startup yang tuntas mengikuti inkubasi itu sebenarnya sudah siap untuk berdiri sendiri. Masih banyak yang juga prematur dan butuh bantuan.
Tapi sampai kapan? Lanjutnya. Sampai kapan inkubator harus terus membimbing para startup itu?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.