Bukan cuma itu, lanjut saya setengah protes, banyak inkubator juga tidak mau startupnya gagal. Bagaimana kalau startup itu kemudian keluar dari inkubator lantas bubar? Bagaimana kalau mereka tidak mampu bersaing di dunia bisnis yang kejam?
Anak panah kehidupan
Sama seperti anak-anak, ujarnya tenang. Jika kita memiliki anak, akan ada waktunya anak itu harus hidup sendiri. Biarkan ia bermain, jika terjatuh dan terluka, ya ia akan sakit. Kita tidak bisa selamanya mengurung anak itu dalam dekapan.
Lagi-lagi, saya teringat penggalan puisi Kahlil Gibran tadi: Engkau adalah busur asal anakmu, anak panah kehidupan, melesat pergi.
Demikianlah peran inkubator, dan mungkin juga founder, menjadi busur tempat melesatnya usaha rintisan. Melaju dengan tepat ke arah sasaran, memecahkan suatu permasalahan yang nyata.
Lalu, kata saya, bagaimana jika suatu hari usaha rintisan itu menjadi sangat besar. Ibaratnya, ia menjadi sebuah Unicorn dengan valuasi gila-gilaan? Lalu apa nasib mereka yang sudah Exit?
Teman saya kembali tersenyum. Orangtua, dari anak-anaknya, hanya bisa berharap apa? Bukankah hanya doa seorang anak yang soleh yang bisa mencapai orangtuanya di alam kubur?
Saya terhenyak. Mungkin memang demikian itu kenyataannya. Bahkan sesuatu yang dirintis dengan “keringat, darah dan air mata” pun bisa suatu hari lepas. Dan kita harus merelakannya.
Diam-diam saya jadi berdoa. Jadikanlah usaha-usaha rintisan ini memiliki manfaat bagi banyak orang, menyelesaikan masalah yang nyata, dan membawa banyak kebaikan. Amin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.