Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Tolong Buka Pintunya, Saya Mau Masuk

Kompas.com - 30/11/2016, 12:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReska K. Nistanto

Semoga belum bosan dengan analogi ini. Peluang, sering diibaratkan sebuah pintu. Sebuah pepatah menyebutkan: jika satu pintu tertutup, dua jendela terbuka. Dengan kata lain, ketika satu peluang tertutup, sesungguhnya telah terbuka lebih dari satu peluang lainnya.

Tentunya, jangan dibaca secara harfiah ya. Karena, siapa sih yang masuk lewat jendela? Maling kah? Kekasih gelap yang mengendap-endap? Tokoh dalam lagu The Beatles, She Came In Through the Bathroom Window? Entah.

Kalau peluang diibaratkan pintu, maka merintis usaha sering sekali diibaratkan sebuah perjalanan. Jalannya panjang, berkelok, kadang menanjak, kadang menurun dengan curam. Kadang, kita harus berhenti, karena berhadapan dengan pintu yang tertutup.

Jadi, kalau digabungkan, perjalanan merintis itu sebenarnya naik mobil, motor atau jalan kaki sih? Jika dengan kendaraan, saat berhadapan dengan pintu mungkin yang dimaksud adalah pintu gerbang?

Hmmm, analogi itu memang pelik. Kalau diterus-teruskan ia akan menemui batasnya, dan semua tamsil ibarat itu bisa runtuh. Ambruk.

Tapi soal pintu itu memang analogi yang menarik. Selama kita membatasinya sebagai analogi, dan tidak membacanya secara “lebih harfiah” (apa harfiah bisa lebih atau kurang? Maafkan kalau salah).

Ibarat pintu yang tertutup

Pintu yang tertutup memang menghalangi jalan, jadi ya kedua analogi itu--peluang sebagai pintu dan merintis usaha sebagai perjalanan--masih bisa lah disambung-sambungkan.

Sekarang begini, kalau dihadapkan pada pintu yang tertutup, apa yang akan Anda lakukan? Tentunya jawabannya tergantung apakah Anda mau melalui pintu itu. Jika, misalnya, sedang kebelet pipis dan itu adalah pintu kamar mandi, tentu Anda ingin melaluinya.

Satu kali di sebuah kedai kopi, saya ingin buang air kecil. Saat mendekati pintu kamar mandi, saya diam sejenak. Pintunya tertutup. Biasanya pintu tertutup artinya ada orang di dalam (iya, iya, ini cuma asumsi). Saat hendak bergerak menjauh, rasa yang nyaris tidak tertahankan membuat saya ingin maju terus. Akhirnya, saya dekati pintu dan ternyata, pintunya tidak terkunci.

Melihat peluang, rupanya, harus dibarengi dengan insting seorang yang sedang kebelet pipis. Rasa kebelet itu adalah urgensi alias keterdesakan untuk membuka pintu. Setidaknya, kalaupun memang ada orang di dalam, kita bisa mengetuk pintu. Walaupun, rasanya paling tidak enak kalau sedang menunaikan tugas di kamar mandi lalu ada yang mengetuk. Maaf ya, namanya juga sedang terdesak.

Awas, pintu segera ditutup

Bicara soal pintu, ada satu pengalaman saya dengan pintu di sebuah kereta bawah tanah di sebuah kota yang terkenal dengan kereta bawah tanahnya sampai-sampai dibuatkan cinderamata (dan, ya, saya pernah membeli kaos dengan tulisan Underground yang kondang itu).

Pintu di kereta, baik di Jakarta maupun di London itu, punya jeda waktu buka tutup. Ini sebuah ibarat yang sangat baik untuk peluang. Karena peluang biasanya memang rentan dengan waktu, istilahnya kalau tidak bisa masuk saat pintu terbuka, ya Anda akan ketinggalan.

Satu kali, saya yang bertubuh berat dan bergerak lambat ini, tergesa-gesa mengejar kereta bawah tanah. Masalahnya, dua orang teman saya sudah lebih dulu naik dan saya tidak ingat kami harus turun di stasiun mana, sehingga saya buru-buru masuk lewat pintu yang hendak menutup.

Dengan kecepatan yang di luar kebiasaan, sambil terengah-engah, saya berhasil menyelinap  masuk. Tapi sialnya, kereta cukup penuh dan saya tidak memperhitungkan ukuran tas punggung yang besar.

Jadilah tas punggung itu terjepit di pintu yang menutup. Orang-orang di sekitar kami --beberapa pria berbadan besar berkulit gelap-- segera membantu memaksa pintu itu terbuka kembali. Kereta pun terhambat beberapa menit. Sementara saya hanya bisa berdiri dengan wajah panik dan tentunya rasa malu yang super.

Pelajaran yang bisa diambil

Lalu, ibaratnya di mana? Apakah jangan-jangan saya cuma ingin pamer pernah naik kereta api bawah tanah di sebuah kota yang sering hujan dan berkabut itu?

Pelajaran itu ada di sini: jika peluang adalah pintu yang terbuka dan segera menutup kembali, pastikan Anda siap untuk mengambil kesempatan.

Jika tergesa-gesa mengambil peluang, selalu ingat bahwa ada risiko Anda “terjepit”. Untungnya, dalam kasus saya, yang terjepit hanya barang bawaan. Bagaimana kalau anggota badan?

Artinya, peluang yang rentan dengan waktu (alias cepat tertutup kembali itu) juga tetap harus diambil dengan perhitungan yang baik. Orang Jawa bilang: ojo grusa-grusu.

Soal kereta itu, saya rasa perjalanan merintis usaha memang tak bisa diibaratkan perjalanan dengan satu moda saja. Kadang kita berjalan kaki, kadang mengemudi. Dan kadang, kita naik kereta.

Saat naik kereta kita mungkin sadar, perjalanan merintis yang panjang dan sepi itu sebenarnya dilakukan oleh banyak orang. Tapi, seperti di kota-kota besar, saat turun dari kereta api kita sesungguhnya berjalan di dalam keramaian namun terjebak dalam keterasingan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com