6. Evan Spiegel
Di usia yang baru 26 tahun, Evan Spiegel mampu memimpin perusahaan teknologi sekaliber Snap Inc. Perusahaan itu mewadahi media sosial berbasis video yang disebut “Snapchat”.
Berbeda dari Facebook dan Twitter, esensi Snapchat lebih sebagai ruang intim antar penggunanya. Mereka bisa bertukar video pendek dengan bubuhan filter menggemaskan, untuk menunjukkan sedang apa dan di mana.
Belakangan kemampuan Snapchat dicontek Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Meski ini tak baik bagi perkembangan bisnis Snapchat, setidaknya ada satu hal yang patut dibanggakan: orang sekelas Mark Zuckerberg pun jatuh cinta pada “otak” Evan Spiegel yang enam tahun lebih muda.
7. Mary Barra
Revolusi transportasi sedang marak, mulai dari kemunculan mobil elektrik hingga mobil tanpa awak. Ini tentu saja berdampak negatif bagi produsen mobil tradisional, salah satunya General Motors.
Perusahaan itu memproduksi kendaraan di 37 negara dalam 12 merek, yakni Chevrolet, Buick, GMC, Cadillac, Holden, Opel, Vauxhall, Wuling, Baojun, Jie Fang, dan Ravon.
Di masa-masa terpuruk, keterampilan memimpin akan sangat teruji. Mary Barra sebagai CEO General Motors mampu melewati ujian berat itu. Ia sempat menarik 30 juta kendaraan dari pasaran untuk menyelidiki ulang minat pasar di era modern.
Ia pun cepat berinovasi dengan membeli perusahaan penyedia teknologi mobil tanpa awak bernama Cruise Automation. Ia juga berinvestasi pada layanan transportasi online Lyft. Terakhir, General Motors juga merilis layanan ride-sharing bertajuk “Maven”.
8. Satya Nadella
Microsoft sempat berjaya sebagai satu-satunya perusahaan software komputer paling dominan, seperti Google melalui Android saat ini. Namun, Microsoft sempat ciut diterpa persaingan yang kejam.
Tak cuma itu, Microsoft kemudian bermain di perangkat teknologi dan merilis Surface. Perangkat itu bahkan menjadi saingan kuat lini Apple. “Microsoft sudah bukan cuma sistem operasi perangkat belaka,” Satya Nadella menegaskan.
9. Susan Wojcicki
Saat pertama kali didaulat memimpin YouTube pada 2014, cuma ada 24 persen perempuan yang bekerja di sana. Per 2017 ini, persentase itu meningkat menjadi 30 persen.
Ini tak lepas dari kiprah Susan Wojcicki yang dikenal gemar menyuarakan optimisme kaum perempuan. Wojcicki bahkan mendukung perempuan dalam posisi strategis sebagai pemimpin, bukan cuma pekerja.
Kepiawaiannya menginovasi YouTube pun bisa dirasakan saat ini. YouTube menjadi salah satu layanan paling populer dan mudah mencetak konten viral di internet. Bagi sebagian orang, kini “YouTube lebih dari TV”.
10. Andrew Jassy
Ketika mengakses layanan semacam Spotify dan Netflix, Anda mungkin tak berpikir tentang sistem komputasi yang memungkinkan musik dan serial televisi favorit Anda bisa diakses kapan saja dan di mana saja dalam keadaan online.
Padahal, sistem komputasi adalah inti dari layanan internet. Anak usaha Amazon, AWS, menghadirkan solusi untuk itu. “Otak” di baliknya adalah Andrew Jassy.
Andrew Jassy berhasil membawa AWS menjadi perusahaan bernilai 3 miliar dollar AS atau Rp 4 triliun dalam waktu 10 tahun. Nilai itu terhitung besar untuk perusahaan baru yang menyasar enterprise.
Tiap tahunnya dalam acara “re:invent”, Andrew Jassy mengumbar inovasi terbaru dari AWS untuk membantu pebisnis, startup, dan developer yang ingin menciptakan arsitektur sistem komputasi.
11. Ajit Pai
Pada masa kepemimpinan Barrack Obama, Ajit Pai merupakan komisioner Federal Communications Commision (FCC). Kini, di bawah pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, jabatan Ajit Pai adalah Kepala FCC.
Ajit Pai adalah regulator yang memperjuangkan netralitas internet alias net neutrality. Ia ingin mengeliminasi aturan yang membuat penyedia internet bisa memblok konten tertentu dan memprioritaskan konten lainnya.
Ia ingin derajat konten di internet diperlakukan sama. Kebebasan masyarakat memilih konten diapresiasi lebih dalam.