Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

"Startup" yang Cari Duit dengan Cara Jahat

Kompas.com - 31/05/2017, 10:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReska K. Nistanto

Kalau Anda mengikuti kolom saya di Kompas.com ini, tentunya mulai dapat gambaran soal sumber dana para startup alias usaha rintisan di bidang digital. Anda juga kurang lebih dapat gambaran, alasan kenapa para startup seakan-akan membakar duit.

Kalau belum, ya ndak apa-apa juga, silakan baca dulu di Tekno Kompas.com.
 
Dalam dua tulisan sebelumnya, sempat disebut bahwa sebuah usaha rintisan juga perlu mengembangkan bisnisnya dan mencari penghasilan dari bisnisnya. Maksudnya, sebagaimana layaknya sebuah perusahaan, ya harus ada pemasukan.

Baca: Memahami Jenis-jenis Hujan Duit di Dunia Startup
 
Jadi jangan kira startup itu hanya berharap duit investor. Meskipun memang, dalam banyak kasus startup itu mengutamakan pertumbuhan (yang bisa diartikan sebagai makin besarnya ukuran pasar) daripada penghasilan.
 
Nah, kalau soal cari duit sendiri, sesungguhnya inilah ujian sebenarnya dari sebuah usaha rintisan. Mendapatkan pihak lain yang mau membayar untuk solusi yang ditawarkan adalah momen pembuktian model bisnis startup tersebut.
 
Sebuah artikel di Forbes bertahun-tahun yang lalu, pernah mengungkapkan beberapa upaya usaha rintisan mendapatkan konsumen-konsumen awal. Cara-caranya sungguh beragam, mulai dari yang turun ke jalan dan membagikan air minum gratis hingga yang menawarkan layanan gratis.
 
Pendiri Homejoy, sebuah layanan bersih-bersih rumah ala Go-Clean, mengatakan pelanggan awal startup yang kini didukung oleh Google tersebut banyak berasal dari orang-orang yang dibujuk oleh para pendiri Homejoy di jalan.

Baca: Bakar Saja Duitnya, Biar Panas
 
“Kami bikin orang merasa bersalah (karena rumahnya yang kotor) hingga mereka mau mendaftar layanan bersih-bersih ini. Itu cara kami mendapatkan kebanyakan pelanggan awal kami, selain itu juga ada teman-teman dan keluarga sendiri,” ujar Adora Cheung, pendiri Homejoy.
 
Model bisnis gratis  
 
Di sisi lain, ada banyak sekali kisah sukses perusahaan rintisan digital yang mendapatkan uang dengan menggratiskan layanan mereka. Tak perlu lihat jauh-jauh, hingga kini Google dan Facebook masih menawarkan berjibun layanan gratis.

Forbes Ilustrasi

 
Apakah layanan tersebut sungguh-sungguh gratis? Sebaiknya Anda baca dulu sebuah kolom dari Jurnalis Tekno Kompas.com, Deliusno, yang bertajuk WhatsApp dan Facebook Gratis? Tidak Juga.
 
Apa yang dilakukan penyedia layanan gratis, pada dasarnya adalah menumbuhkan basis pengguna mereka sebesar-besarnya. Ketika penggunanya sudah besar, baru mereka mengeksekusi (atau mulai memikirkan) rencana meraup pendapatan sebesar-besarnya.
 
Ini model bisnis yang banyak dikejar oleh usaha rintisan saat ini. Meskipun masih banyak yang bingung, dari mana uang itu akan datang nantinya saat pengguna mereka sudah amat banyak?
 
Salah satu jawabannya adalah iklan. Ya, seperti Google dan Facebook, pengguna yang besar itu kemudian jadi data yang berharga bagi pihak-pihak yang ingin menjejalkan iklan mereka ke hadapan khalayak ramai.

Berikutnya: Jangan menjadi jahat...


Cara lain adalah mulai menawarkan fitur berbayar. Harapannya, sebagian pengguna akan tertarik pada fitur tambahan ini dan mau membayar. Sedangkan kebanyakan pengguna yang masih memanfaatkan layanan gratisan? Anggap saja sebagai biaya promosi.
 
Jangan menjadi jahat
 
Tulisan ini bukan mau membahas model bisnis yang paling joss buat startup. Itu adalah pembahasan yang butuh keahlian, jauh di atas kemampuan penulis yang baru nyemplung sejenak di dunia startup digital dan belum terbukti bisa melakukan bisnis yang baik.
 
Satu hal yang perlu jadi kekhawatiran adalah soal data pribadi. Lagi-lagi, lihatlah Facebook dan Google, yang boleh dibilang memanfaatkan data penggunanya untuk mendapatkan uang. Tentunya (saya sungguh berharap) mereka melakukan itu dengan cara yang etis dan baik.
 
Tapi tetap saja, istilahnya: there is no free lunch atau "tidak ada makan siang gratis". Semua layanan yang dinikmati dari kedua raksasa internet itu, dan banyak penyedia layanan lainnya, bisa kita nikmati karena mereka mencari uang dari data yang dihasilkan oleh penggunanya.
 

Pinkypills Global Strategy Connection Data Virtual Icon Innovation Graph Interface.Startup Diversity Teamwork Brainstorming Meeting Concept.Business People Coworkers Sharing Worldwide Economy Laptop Touchscreen
Nah, di sini ada garis yang perlu diperhatikan dengan baik. Sesungguhnya kita perlu sadar bahwa ada data pribadi yang sifatnya patut dilindungi. Data pribadi itu seharusnya tidak menjadi bahan jualan mentah-mentah. Artinya, misalnya, startup harusnya tidak boleh menjual data pengguna dalam bentuk nama, alamat, dan nomor telepon ke pihak lain.
 
Tapi di Indonesia, di luar batasan startup ya, aksi jual beli data pibadi tampaknya sudah marak dan lazim. Apa buktinya? Lihat saja betapa seringnya seorang tak dikenal menawarkan kartu kredit atau asuransi lewat telepon. Dan perhatikan bahwa, biasanya, orang itu akan menyapa langsung dengan nama Anda.
 
Soal data pribadi ini, harusnya kita sebagai pengguna semakin sadar dan berhati-hati. Setidaknya, harus memperhitungkan apakah sebuah layanan gratis layak “dibeli” dengan menyerahkan data-data kita.
 
Di sisi lain, para pelaku usaha rintisan digital juga sebaiknya memperlakukan data penggunanya dengan baik. Jangan sampai, model bisnis yang berharap pada pertumbuhan pengguna sebanyak-banyaknya kemudian menjelma upaya menjual data pengguna untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
 
Gratis ataupun berbayar, sudah seharusnya startup juga menjamin perlindungan data pribadi penggunanya. Menjamin bahwa data itu disimpan dengan baik. Bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan data itu, bukannya malah lepas tangan saat data penggunanya bocor ke mana-mana.

Baca: Cara Stop WhatsApp Serahkan Data Anda ke Facebook

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com