Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Eropa Melawan Dominasi Bisnis Iklan Google...

Kompas.com - 21/06/2023, 10:01 WIB
Galuh Putri Riyanto,
Reza Wahyudi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Selama ini, Google menjadi salah satu pemain besar yang mendominasi pasar iklan online global. Bahkan, bisnis iklan ini menjadi sumber utama pendapatan Google. Hal ini pun mendorong Uni Eropa mengawasi bisnis iklan Google.

Kini, pengawas antimonopoli Uni Eropa telah mengirim surat ke Google. Surat tersebut berisi pandangan Uni Eropa yang menilai Google telah melanggar aturan antimonopoli Uni Eropa dengan mendistorsi persaingan di industri teknologi periklanan (adtech).

Saat ini, Uni Eropa memang belum menjatuhi hukuman denda kepada Google. Namun, Uni Eropa telah menyampaikan keinginannya agar Alphabet (induk Google) menjual sebagian dari bisnis iklan online-nya.

"Hanya divestasi sebagian layanan (iklan online Google) yang akan mengatasi masalah persaingan ini," kata Komisi Eropa di situs resminya.

Seorang juru bicara Google mengatakan perusahaan akan menentang tuntutan untuk mendivestasi bisnis iklan online ataupun hengkang dari pasar Uni Eropa, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Yahoo Finance, Rabu (21/6/2023).

Baca juga: Pendapatan Iklan YouTube Turun, Gara-gara TikTok?

Ekosistem iklan Google dinilai matikan persaingan

Pengawas antimonopoli Uni Eropa menemukan bahwa Google menyalahgunakan dominasinya di pasar iklan online.

Dalam menjalankan bisnis iklan online, Google memiliki server iklan sendiri bernama DFP. Lalu, Google juga punya platform pengelolaan iklan bernama Google Ad Manager.

Berdasarkan keterangan di laman resminya, Google Ad Manager mendukung beberapa jaringan atau bursa iklan, meliputi AdSense (YouTube), AdX milik Google sendiri, serta jaringan iklan pihak ketiga dan bursa iklan pihak ketiga lainnya.

Nah, menurut hasil investigasi Pengawas Antimonopoli Uni Eropa, server iklan Google ini (DFP) ternyata memberikan perlakuan istimewa pada pengguna layanan AdX untuk menjual "impression" dan ruang iklan mereka ke pengiklan.

Alhasil, perlakuan istimewa tersbut dinilai merugikan para pesaing Google di industri iklan online global.

Komisi Uni Eropa pun khawatir bahwa tindakan Google yang diduga sengaja memberi AdX keunggulan kompetitif, mungkin telah mematikan persaingan di pertukaran iklan.

"Hal ini akan memperkuat peran sentral AdX Google dalam rantai pasokan teknologi iklan dan memberikan kemampuan Google untuk membebankan biaya tinggi untuk layanannya," tulis Uni Eropa.

Baca juga: Terbukti Bersalah Lagi, Google Didenda Rp 594 Miliar

AS juga incar Google soal monopoli iklan

ilustrasi Google OfficeThe New York Times ilustrasi Google Office
Awal Januari, Google juga digugat oleh Departemen Kehakiman (Department of Justice/DOJ) Amerika Serikat dan delapan negara bagian AS. Gugatan itu menuduh Google memonopoli beberapa produk teknologi iklan digital selama bertahun-tahun, sehingga membuat pengiklan ketergantungan.

Praktik ini dinilai membuat situs web dan pengiklan yang memakai alat iklan lain dirugikan. Di sisi lain, praktik ini juga dinilai menyudutkan kompetitor karena berada di posisi yang sangat tidak menguntungkan.

Baca juga: Ogah Bayar, Meta dan Google Pilih Blokir Konten Berita di Kanada

Selain itu, berbagai akuisisi yang dilakukan Google juga dinilai memungkinkan perusahaan menghilangkan kompetitor, sehingga memaksa perusahaan lain untuk memakai alat periklanan Google.

Alhasil, Google diklaim mampu mengantongi rata-rata 30 persen lebih dari pendapatan periklanan yang dihasilkan oleh produk teknologi iklan digitalnya.

Menurut DOJ, praktik Google di atas melanggar undang-undang anti-monopoli, sehingga perlu penegakkan hukum "untuk melindungi konsumen, menjaga kompetisi dan memastikan keadilan ekonomi dan peluang untuk semua pihak".

Oleh karena itu, DOJ dan delapan negara bagian termasuk New York, California, Connecticut, dan Virginia meminta pengadilan untuk mendesak Google melepas (divestasi) bisnis periklanannya.

Tahun lalu, Google sendiri sudah berupaya memisahkan bisnis iklan dengan memindahkannya ke divisi khusus, tetapi masih di bawah naungan Alphabet. Sayangnya cara ini tampaknya dinilai belum cukup membuktikan bahwa Google anti-monopoli di mata DOJ.

Baca juga: Bisnis Iklan Seret, Keuntungan Induk Google Turun 27 Persen

Riwayat Google dan tuduhan monopoli

Pada Juni 2021, Google pernah didenda gara-gara dinilai memonompoli bisnis iklan online di Eropa. Ketika itu, Google didenda 220 juta euro atau setara dengan Rp 3,8 triliun oleh pengawas persaingan usaha di Perancis (French Competition Authority, FCA).

Sanksi denda yang diterima Google akibat menyalahi persaingan usaha seperti ini, bukanlah yang pertama, melainkan sudah berkali-kali.

BBC menyebutkan, pada 2019 lalu, Google juga sempat didenda sebesar 1,49 miliar euro karena memblokir pengiklan pencarian online. Sementara pada 2018, Google juga menerima rekor sanksi denda sebesar 4,34 miliar euro, karena menggunakan sistem operasi Android untuk memblokir pesaingnya.

Sebelumnya, pada 2017, Google dijatuhi denda 2,42 miliar euro karena menghalangi persaingan usaha dengan rivalnya yang bergerak di situs perbandingan harga belanja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com