Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nasib Maskapai Indonesia di Ujung Tanduk

Bekerja sama dengan tim riset dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, INACA menggagas white paper atau semacam peta jalan menuju pemulihan kesehatan maskapai nasional.

Pada pertengahan April lalu, INACA dan tim Unpad menggelar webinar, setelah sebelumnya menggelar tiga kali Focus Group Discussion dengan tema yang serupa.

Dalam paparannya, tim riset Unpad memaparkan bahwa bisnis penerbangan nasional akan mulai membaik secara optimis pada 2022. Namun kajian tim juga menyatakan bahwa kondisi optimis tersebut sulit dicapai dan memaparkan ada kondisi moderate yaitu pada tahun 2024 dan kondisi pesimis tahun 2025.

Sedangkan penerbangan internasional yang dilakukan di Indonesia, optimis membaik pada tahun 2023, moderate tahun 2025 dan pesimis tahun 2026.

“Semua itu tergantung dari penanganan pandemi Covid-19 di tanah air, terutama percepatan vaksinasi pada masyarakat,” ujar Yayan Satyakti, ketua tim peneliti dari Unpad tersebut.

Yayan sendiri meyakini bahwa kondisi moderate lebih mungkin terjadi. Hal senada disampaikan juga oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani dan Ketua Masyarakat Hukum Udara Indonesia, Andre Rahardian yang menjadi penanggap dalam webinar tersebut.

Artinya, dalam kondisi seperti saat ini, maskapa penerbangan domestik akan kembali seperti sedia kala pada tahun 2024 dan penerbangan internasional pada tahun 2025. Dengan asumsi, sekali lagi, penanganan pandemi dan terutama program vaksinasi massal oleh pemerintah terjadi as usual seperti saat ini.

Maskapai di ujung tanduk

Sektor penerbangan, nasional maupun global, memang menjadi salah satu sektor yang terdampak paling parah dari pandemi Covid-19.

Data PT. Angkasa Pura 1, dari 15 bandara besar yang dioperasikannya pada tahun 2020 lalu tercatat pergerakan penumpang turun 61 persen dibanding tahun 2019, dari 81,95 juta menjadi 31,85 juta pergerakan penumpang.

Sedangkan pergerakan kargo udara turun 7,4 persen dari 481,18 ribu ton menjadi 445,13 ribu ton. Pergerakan pesawat turun 45,3 persen, dari 704.669 pergerakan menjadi 385.345 pergerakan.

Artinya dalam setiap penerbangan pesawat rata-rata hanya mengangkut 82,6 orang. Jika kapasitas tiap pesawat rata-rata 180 kursi, maka tingkat keterisian (load factor) hanya 45,8 persen.

Sedangkan data dari PT Angkasa Pura 2, dari 19 bandara yang dioperasikan, jumlah pergerakan penumpang hanya 35,54 juta pergerakan. Sedangkan pergerakan pesawat 412.186 pergerakan. Rata-rata keterisian pesawat dengan demikian hanya sekitar 49 persen.

Dengan load factor di bawah 50 persen, tentu dapat dikatakan maskapai-maskapai kita sedang tidak sehat.

Apalagi jika melihat harga jual tiket yang tarifnya rata-rata juga berada di batas tengah hingga batas bawah dari tarif yang ditentukan oleh Kementerian Perhubungan. Pendapatan maskapai pun sangat minim. Bisa dikatakan, maskapai kita sudah jatuh tertimpa tangga.

Jika merujuk pada riset INACA dan Unpad di atas, masih perlu 4 tahun lagi atau minimal satu tahun ke depan kondisi penerbangan domestik yang menjadi tulang punggung bisnis maskapai nasional, akan normal. Jadi maskapai masih harus dalam kenestapaan hingga menuju kondisi aman tersebut.

Sanggupkah maskapai nasional bertahan? Jika merujuk pada data saat ini, dari 14 maskapai besar (penumpang dan kargo) terdapat dua maskapai yang kondisinya kritis dan berhenti beroperasi sementara. Yang lainnya juga tak kalah kritis dan bahkan mengurangi kapasitas bisnis hingga lebih 50 persen.

Akibatnya, lebih dari setengah pesawat tidak terbang, yang artinya adalah lebih dari separuh pegawai maskapai juga menganggur termasuk pilot, pramugari, teknisi dll. Begitupun bisnis-bisnis lain terkait seperti bandara, MRO, ground handling dan sebagainya juga mengurangi kapasitas bisnisnya.

Kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat mudik pada lebaran tahun 2020 dan 2021 ini, menambah pukulan telak bagi bisnis maskapai. Karena pada musim mudik lebaran itulah maskapai panen, baik dari sisi jumlah penumpang maupun harga tiket.

Namun semua harus dilupakan, karena jika mudik diperbolehkan dikhawatirkan penyebaran Covid-19 lebih parah lagi. Tanpa panen, maskapai tentu harus berjuang lebih keras agar bisnisnya tidak terus menurun dan bangkrut.

Menurunnya bisnis penerbangan juga berpengaruh besar pada menurunnya bisnis sektor lain seperti pariwisata. Dan pada akhirnya, juga membuat pertumbuhan perekonomian nasional menurun.

Di sisi lain, kondisi bisnis maskapai yang kritis juga dikhawatirkan mempengaruhi perawatan pesawat dan pengelolaan keselamatan penerbangan yang memerlukan biaya besar. Kita tentu tidak ingin terjadi lagi kecelakaan pesawat yang merenggut banyak korban jiwa dan mencoreng muka bangsa Indonesia.

Peran pemerintah

Dalam kondisi yang demikian, beban tidak seharusnya diserahkan pada maskapai sepenuhnya. Bisnis penerbangan sudah menjadi tulang punggung bagi perekonomian Indonesia yang wilayahnya berbentuk kepulauan ini.

Apalagi bisnis penerbangan diatur secara ketat oleh pemerintah. Bahkan saat maskapai mengikuti aturan pun, pemerintah seringkali mengeluarkan kebijakan yang mengintervensi aturan dan tentu saja juga intervensi bisnis maskapai.

Misalnya pada tahun 2019 di mana pemerintah mengeluarkan kebijakan intervensi terhadap harga tiket yang dijual maskapai, padahal maskapai menjual tiket masih dalam koridor tarif yang dikeluarkan sendiri oleh pemerintah.

Oleh karena itu, dalam masa menuju kondisi normal dari pandemi Covid-19, pemerintah harus ikut campur.

Penanganan pandemi dan vaksinansi massal harus dilakukan secara cepat dan tepat, sehingga cepat terjadi herd immunity dan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk terbang.
Kementerian Perhubungan sebagai regulator penerbangan juga harus ikut aktif mengatur, mengawasi dan mengendalikan, tidak saja keselamatan penerbangan tapi juga bisnis komersial maskapai.

Kargo udara yang selama pandemi terdampak paling kecil, bisa dilakukan pengaturan lebih baik sehingga menguntungkan maskapai dan tidak terjadi perang tarif yang merugikan.

Aturan tarif mungkin sudah saatnya untuk ditinjau kembali. Izin rute dan slot pun begitu.

Stimulus pemerintah, seperti diungkapkan Andre Rahardian, bisa diberikan pada maskapai untuk menurunkan biaya operasional dan mempertahankan industri penerbangan nasional.

Jika pemerintah merasa kerepotan untuk mengurusi bisnis penerbangan nasional ini, bisa menggandeng para profesional independen di bidang penerbangan untuk mengurusnya. Pemerintah bisa fokus pada penanganan keselamatan dan keamanan nasional, sekaligus memberi rambu-rambu terhadap pengaturan bisnis penerbangan nasional.

Apa yang sudah dilakukan oleh INACA dan tim dari Unpad harus diapresiasi. Diharapkan tim ini dapat bekerja secara independen.

Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan memberi dukungan, jangan lagi melakukan intervensi berlebihan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kerja ini harus dilakukan cepat namun juga cermat dan tepat. Begitupun hasilnya harus dapat diimplementasikan hingga mencapai tujuannya. Karena di sinilah masa depan bangsa Indonesia dipertaruhkan.

https://tekno.kompas.com/read/2021/04/20/11030017/nasib-maskapai-indonesia-di-ujung-tanduk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke