Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Operator Khawatir Frekuensi 5G Mahal

Ramainya dunia pertelekomunikasian kita akan ditambah satelit multi fungsi HTS (high throughput satellite), Satria 1 dan satelit cadangan (HBS – hot backup satellite). Siap mendukung juga jaringan serat optik (FO) yang panjangnya lebih dari 400.000 kilometer yang masih terus bertambah.

Kedua satelit modern itu akan diluncurkan di triwulan kedua dan ketiga tahun ini yang akan membuka keterisoliran di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian Kalimantan, dan Sumatera.

Beda dengan cakupan satelit konvensional, jejak (footprint) HTS dan HBS akan meliput fokus di 150.000 titik. Tidak melebar ke mana-mana, meski juga melayani negara tetangga.

Layanan satelit fokus sarana pendidikan, kesehatan, pos-pos TNI—Polri, kantor pemerintahan (desa dan kecamatan), pusat kegiatan ekonomi selain masyarakat umum di 3T.

Bekas ASO

Kita masih berkutat pada upaya membuka isolasi dengan layanan 4G, sementara lebih dari 60 operator telko di dunia sudah menebar 5G sejak dekade lalu. Bahkan Tiongkok sudah memulai coba 6G dengan memanfaatkan satelit.

Ada saja yang dipertimbangkan dan jarang yang berani benar-benar mengambil keputusan. Masalah harga lelang frekuensi, kemampuan investasi operator, dan keseimbangan pemilikan frekuensi, selalu jadi penghambat.

Contoh soal sepele ketika Indonesia menyepakati kebijakan global soal ASO (analog switch off) atau mematikan teknologi analog televisi siaran pada 2018 dan mengganti dengan digital, yang baru dilakukan pada 2022.

Ada protes dari konglomerat penguasa beberapa stasiun komersial televisi Indonesia, sehingga awal Desember lalu masih ada kota yang belum di-ASO-kan.

Kebijakan ASO membuat spektrum frekuensi seluas 115 MHz di rentang 700 MHz menjadi kosong karena televisi digital hanya butuh sedikit.

Rentang 700 MHz jadi “spektrum emas” bagi operator seluler, bisa digunakan untuk 4G dan 5G sekaligus dan lelangnya di triwulan pertama tahun ini.

Televisi analog memakan frekuensi terlalu lebar sampai lebih dari 100 Mhz tetapi biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi hanya sekitar Rp 15 miliar setahun. Kalau digunakan operator seluler, BHP frekuensi lebar 90 MHz saja bisa menghasilkan sedikitnya Rp 5 triliun setahun.

Kapasitas Besar

Ironisnya, ketika pemerintah merilis kebijakan akan melelang spektrum frekuensi untuk layanan 5G, operator justru yang ketar-ketir. Walau secara terbuka mereka bilang siap dan gairah menunggu dirilisnya spektrum frekuensi tadi.

Masalahnya, selain harga frekuensi, investasi untuk 5G bisa 10 kali lipat dibanding 4G LTE yang berdampak pada tarif layanannya. Penyebabnya, makin tinggi frekuensi, cakupan (coverage)-nya makin sempit.

Untuk meliput satu area yang sama, milimeterband butuh BTS berpuluh kali lipat jumlahnya dibanding BTS (base transceiver station) pada frekuensi lowband, seperti 700 MHz.

Cakupan layanan BTS frekuensi 700 MHz atau 900 MHz bisa radius lima kilometer lebih sementara cakupan BTS milimeterband hanya sekitar 100 meter hingga 300 meter.

Pengelolaan spektrumnya sama, menggunakan kembali (reuse) frekuensi di BTS seberang sehingga kapasitasnya berlipat ganda.

Transmisi data dan internet dari BTS milimeterband sangat cepat, hingga 1 GB dibanding 4G LTE yang sekitar 100 MHz, dengan suara lebih jernih.

Empat operator seluler di Indonesia selama ini masih berkutat pada layanan 4G, walau secara sporadis ada operator yang sudah memberi layanan 5G.

Namun layanan mereka tidak maksimal karena spektrum yang digunakan bukan milimeterband melainkan lowband yang juga digunakan bersama 4G, sehingga yang muncul adalah layanan 5G rasa 4G.

Jeruji besi

Layanan 5G di dunia menggunakan midband pada pita 2600 MHz (2,6 GHz), lalu 3,5 GHz dan milimeterband pada pita frekuensi 26 GHz, 28 GHz, 35 GHz dan 40 GHz. Di antara spektrum tadi ada yang masih digunakan untuk transmisi satelit.

Teknologi 5G juga menggunakan spektrum lowband di frekuensi 700 MHz, 850 Mhz, 900 MHz, 1,8 GHz hingga 2,1 Ghz untuk IoT (Internet of Things). Selain menggunakan spektrum 700 MHz untuk 5G, Indonesia dikatakan akan menggunakan spektrum 3,5 GHz dan 26 GHz.

Operator gundah dan bertanya-tanya, berapa besar modal yang harus mereka kucurkan untuk memberi layanan 5G, karena masih belum tahu harga lelang spektrumnya. Sebagai patokan, untuk mendapat spektrum 2,1 Ghz selebar 2X5 (10) MHz bekas Indosat tahun lalu, Telkomsel merogoh koceknya Rp 605 miliar.

Sementara milimeterband masing-masing spektrum bisa menyediakan pita selebar 1.000 MHz, dan idealnya untuk optimal memberi layanan 5G tiap operator harus punya minimal 100 MHz.

Kecuali untuk spektrum 700 MHz yang nantinya akan digunakan untuk layanan IoT yang memang harus berteknologi lowband.

Teknologi IoT digunakan untuk mengelola sebuah kawasan luas untuk misalnya jadwal pemupukan dan obat antihama di pertanian, perkebunan, atau catu makanan untuk kolam ikan, pengawasan kadar air sungai dan semacamnya.

Di spektrum itu pemerintah hanya akan merilis pita selebar 90 MHz, sisanya dari eks ASO akan digunakan pemerintah untuk misalnya deteksi bencana.

Pemerintah sebenarnya mafhum soal kekhawatiran operator seluler. Tetapi Kementerian Kominfo lebih khawatir jika harga lelang per MHz di bawah angka yang pernah terjadi sebelumnya, yang akan jadi isu merugikan negara. Bisa-bisa jeruji besi menunggu mereka.

https://tekno.kompas.com/read/2023/01/16/06000097/operator-khawatir-frekuensi-5g-mahal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke