Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jalan Tengah Polemik Kecerdasan Manusia Versus AI

Kemunculan kecerdasan buatan yang didominasi platform AI generatif baru-baru ini, memicu polemik karena dianggap berpotensi menggusur peran manusia dalam berbagai bidang pekerjaan. Benarkah masa depan (peradaban) manusia terancam?

Sejarah singkat AI

Istilah Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan memang pertama kali diusulkan oleh John McCarthy pada tahun 1956 dalam sebuah konferensi akademik.

Namun, sejarah AI bisa ditemukan jejaknya beberapa tahun sebelumnya, ketika Bombe Machine milik pihak sekutu berhasil men-decode mesin kriptografi andalan Jerman Nazi, Enigma.

Bombe Machine dianggap sebagai 'mesin pintar' yang mampu menghalau, mengintip, dan menguraikan pesan-pesan rahasia pasukan Nazi yang pada akhirnya berkontribusi menyudahi upaya Hitler dan bala tentaranya untuk mendominasi dunia.

Proses pengembangan mesin ini melambungkan nama Alan Turing yang kini kita kenal sebagai salah satu pelopor komputasi modern.

Selanjutnya, teknologi AI dilibatkan dalam pengembangan berbagai macam teknologi. Pada tahun 1961, George Devol menggagas Unimate, robot industrial pertama yang digunakan dalam lini industri perakitan di General Motors.

Berturut-turut kemudian, chatbot berbasis AI terus mengalami evolusi sejak kemunculan Eliza tahun 1964 yang dirilis dalam format dialog sederhana. Alice (Artificial Linguistic Internet Computer Entity) menyusul pada 1995.

Program ini muncul dengan fitur 'wajah' sehingga lebih atraktif. Alice tidak hanya memenangkan berbagai penghargaan, tetapi juga menginspirasi sebuah film.

Siri dan Alexa yang lahir awal milenium ke-3 --yang masing-masing dirilis oleh raksasa teknologi Apple dan Amazon-- juga pantas masuk dalam peta pencapaian (milestone) perkembangan AI.

Jangan lupakan Sophia, robot citizen besutan Hansen Robotics tahun 2016 yang mampu menirukan bahasa dan ekspresi manusia. Robot 'perempuan' ini bahkan mampu memberikan opininya mengenai ihwal tertentu.

Terbaru, tentu saja, dunia digemparkan dengan chatbot serbabisa: ChatGPT, yang hanya membutuhkan waktu 5 hari saja untuk menggaet 1 juta pendaftar. Pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Selain chatbot, program komputer semacam Deep Blue, pernah mencuri perhatian dan menjadi buah bibir pada 1997, ketika berhasil menaklukkan grandmaster catur dunia asal Rusia, Garry Kasparov.

Superioritas kecerdasan manusia mendadak mendapatkan tantangan dari mesin buatannya sendiri. Pun ketika hari ini, AI tiba-tiba dilepas seperti sekawanan serigala liar yang mengancam hampir semua industri, sekali lagi kecerdasan mesin menantang kecerdasan tuannya sendiri.

AI Generatif

AI Generatif (Generatives AI) merupakan jenis kecerdasan buatan yang mampu secara aktif memproduksi data baru dari hasil menelusuri, mempelajari, dan menggabungkan data-data yang telah ada sebelumnya melalui perintah sederhana.

Fitur istimewa ini menjadikan AI Generatif mumpuni melakukan berbagai macam tugas, termasuk yang dulunya disangka mustahil dicapai dan dikerjakan oleh mesin.

Saat ini, gelombang platform AI Generatif telah merambah ke berbagai bidang pekerjaan. Tidak hanya text-to-text seperti ChatGPT, platform AI Generatif kini juga semakin beragam meliputi berbagai macam layanan seperti text-to-image, text-to-3d model, text-to-audio, hingga text-to-video.

Selain unggul karena mampu menghasilkan data baru, platform AI Generatif juga mudah dikenali karena memiliki beberapa karakter yang khas, di antaranya:

1. Aktif

AI Generatif mampu melakukan produksi data baru secara aktif. Artinya, dengan beberapa prompt atau perintah sederhana, platform tersebut dapat menghasilkan data baru baik berupa text, image, audio, maupun video berkualitas tinggi dengan effort minimal.

2. Instan

AI Generatif mampu menghasilkan data baru secara instan. Hanya butuh beberapa detik bagi ChatGPT untuk merespons pertanyaan atau perintah tertentu.

Pun hal yang sama terjadi ketika kita memerintahkan Midjourney menghasilkan image. Hanya dengan menulis beberapa baris prompt, kita segera akan disuguhi beberapa alternatif "karya" berkualitas tinggi.

3. Trainable

AI Generatif dapat dilatih untuk mengamati, menganalisis, memprediksi dan menghasilkan ‘karya baru’ sesuai dengan kebutuhan.

Artinya, platform tersebut mendapatkan kemampuannya dari hasil mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber, memprediksi pola-pola tertentu, untuk kemudian merangkainya menjadi data baru yang "seolah-olah" kreatif.

Beberapa platform AI Generatif yang potensial menjadi raksasa masa depan di antaranya, ChatGPT, Dall-E, Stable Diffusion, Midjourney, Luma AI, Musicfy, Pictory, Runway, dan lain-lain.

Kecerdasan manusia Vs kecerdasan buatan

Menurut data dari World Economic Forum, sebanyak 25 persen pekerjaan akan mengalami automasi pada 2025 mendatang. Itu artinya, 85 juta pekerjaan potensial hilang.

Namun, masih menurut sumber yang sama, 65 persen anak-anak yang saat ini duduk di sekolah dasar, bakal mengampu pekerjaan yang saat ini belum ada.

Dari data tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa AI mungkin tidak benar-benar akan menggusur manusia dari pekerjaannya. Bisa jadi ini hanya "shifting", semacam pergeseran besar yang revolusioner.

Menyimpulkan pendapat pakar AI sekaligus penulis "AI Superpowers", Kai-Fu Lee, pekerjaan-pekerjaan yang repetitif tentu akan menjadi "korban" pertama automasi yang dilakukan oleh AI.

Sedangkan pekerjaan kompleks yang berkaitan dengan kreativitas dan hubungan antarmanusia, diprediksi akan menjadi "korban" AI paling akhir.

Meskipun, kehadiran AI Generatif seperti Midjourney yang mendisrupsi dunia seni visual belakangan ini, menjadi antitesis premis tersebut. Semua sektor industri harus siap menghadapi invasi robot-robot pintar ini.

Namun, pandangan muram seperti itu harus diimbangi semangat dan optimisme mengenai munculnya peluang berupa pekerjaan-pekerjaan baru yang mungkin muncul pada masa mendatang.

Terdekat dan sudah mulai dirasakan kebutuhannya adalah kreativitas jenis baru yang berkaitan dengan prompt, pekerjaan seperti prompt artist atau prompt engineer, kemungkinan akan menjadi mainstream masa mendatang.

Alih-alih menganggap AI dalam dikotomi mengancam - menguntungkan, ada baiknya mendudukkan AI secara objektif dengan mengamati fakta-fakta sebagai berikut:

1. AI hanya bekerja di wilayah praktikal

AI hanya mampu menghasilkan ‘karya’ di level praktikal, sedangkan secara konseptual dan wacana masih membutuhkan kehadiran manusia yang bergerak dalam dinamika sosial yang mustahil dipahami mesin.

2. AI tidak memiliki kesadaran

Sebaik apa pun 'karya' yang dihasilkan AI, mereka tidak memiliki kemampuan memaknai hasil 'karya' tersebut sebagaimana manusia menghayati proses berkarya.

Kemampuan kognitif yang diasosiasikan sebagai 'kesadaran' pada AI terbatas pada kemampuan sintaksis, sementara makna berada di wilayah semantik.

Ketiadaan ‘embodiment’ dalam 'karya' yang dihasilkan AI membuat apa pun yang diproduksi AI belum bisa dianggap sebagai bentuk 'kesadaran'. Setidaknya sampai teknologi membuktikan lain.

3. AI membutuhkan karya manusia untuk berkembang

AI dilatih menggunakan sejumlah besar data yang berasal dari Internet, termasuk situs web, buku, artikel, dan materi dari sumber-sumber yang lain.

Artinya, 'karya' AI tidak muncul dari ruang hampa, melainkan hadir dalam konteks dinamika peradaban manusia. Seumpama manusia berhenti menghasilkan karya, maka AI akan kehilangan sumber data utama tersebut.

Meskipun tetap ada kemungkinan AI dapat mengembangkan data baru yang 'kreatif', tetapi belum tentu memiliki nilai yang relevan dengan manusia dan kemanusiaan.

Teknologi (termasuk AI) seyogianya adalah alat untuk menyokong peradaban. Meskipun pada titik tertentu bisa sangat mengancam, manusia dengan akal budinya bisa berperan dengan membuat aturan-aturan dan menentukan batas-batasnya.

Elon Musk dan beberapa tokoh teknologi terkemuka dunia memang pernah mengingatkan bahaya AI yang setara bahkan melebihi nuklir.

Namun, tak sedikit juga yang turut merayakan kehadiran teknologi kecerdasan buatan ini. Sekarang, terserah kita mau meyakini yang mana?

Jalan tengah

Masa depan AI sering kali digambarkan dalam nuansa distopia yang suram. Imajinasi robot yang mencuri pekerjaan manusia sehingga menyebabkan pengangguran massal, ketakutan akan adanya kekuatan dominan seperti perusahaan dan pemerintah yang akan menggunakan teknologi AI untuk mengawasi dan mengontrol manusia, kerap kita dengar sebagai narasi mainstream. Tetapi benarkah demikian?

Menurut Kai-Fu Lee, salah satu tokoh pendukung AI, masa depan kita justru akan menjadi lebih baik berkat AI. Banyak kelemahan AI merupakan refleksi dari kesalahan kita sendiri, dan hal ini semestinya dapat dicegah.

AI memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan positif dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Misalnya, di sektor kesehatan, AI dapat digunakan untuk melakukan diagnosis secara lebih cepat dan akurat, membantu penemuan obat baru, dan meningkatkan pelayanan dan perawatan bagi pasien.

Dalam bidang pendidikan, AI dapat memberikan pengalaman pembelajaran yang menyenangkan dan dapat memfasilitasi akses pendidikan yang lebih luas.

Di sektor industri, AI dapat meningkatkan efisiensi produksi, mempercepat inovasi, dan memungkinkan pekerja manusia untuk fokus pada tugas yang lebih kreatif dan bermakna.

Namun, penting bagi kita untuk memastikan bahwa pengembangan dan implementasi AI dilakukan dengan pertimbangan etika dan regulasi yang baik.

Langkah-langkah perlu diambil untuk memastikan keamanan data pribadi dan menghindari bentuk penyalahgunaan kekuatan AI lainnya.

Regulasi yang ketat dan pengawasan yang efektif dapat membantu mencegah skenario distopia yang tidak diinginkan.

Selain itu, pemahaman yang lebih baik tentang AI dan peningkatan literasi teknologi di kalangan masyarakat secara keseluruhan juga penting.

Dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat mengatasi ketakutan yang tidak beralasan dan mendorong adopsi yang bijak dan bertanggung jawab terhadap teknologi ini.

Pun critical thinking juga memainkan peran penting dalam mencegah penyalahgunaan AI dengan memungkinkan individu secara kritis mengevaluasi dan menilai informasi yang diproduksi oleh teknologi.

Dalam rangka mewujudkan masa depan yang lebih baik dengan AI, kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan juga krusial. Ini termasuk kerjasama antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat untuk mengembangkan pedoman dan standar yang baik untuk penggunaan AI secara etis.

Pada akhirnya, kecerdasan manusia dan AI bukan mustahil hidup berdampingan dan tidak selalu harus didudukkan dalam posisi yang bertentangan.

AI memiliki potensi untuk memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia. Dengan pendekatan yang bijak, etis, dan kolaboratif, manusia dapat mencegah skenario distopia yang sering kali digambarkan dan mengarahkan penggunaan AI yang berkelanjutan, inklusif, dan bermanfaat bagi peradaban.

https://tekno.kompas.com/read/2023/06/07/08000017/jalan-tengah-polemik-kecerdasan-manusia-versus-ai

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke