Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gamang Menerapkan Teknologi Telko

Kini mereka semua sudah harus pindah ke digital (ASO – analog switch off) yang lebih efisien dalam menggunakan frekuensi.

Di satu sisi operator seluler kesal karena beberapa negara, antara lain China dan India, sudah sejak lima tahun lalu menerapkan layanan 5G, bahkan China sudah maju ke 6G.

Namun di sisi lain operator juga was-was, berapa besar dana yang harus disiapkan membeli frekuensi jika akan dibagikan secara lelang oleh Kementerian Kominfo.

Dari sisi pemerintah – Kominfo – pun, pembagian frekuensi selalu membawa harapan akan membuat makin besarnya jumlah PNBP (penerimaan negara bukan pajak).

Menurut aturan yang berlaku, dari PNBP yang didapat, lembaga yang mengumpulkannya juga mendapat bagian untuk operasional mereka.

PNBP bisa didapat dari hasil lelang, cara beauty contest, atau diberikan begitu saja.

Juga dari besaran BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi dan sebagainya, jika itu untuk Kominfo.

Proses lelang seperti biasa, diberikan kepada penawar tertinggi seperti yang sudah terjadi. Cara beauty contest pemberian spektrum berdasar pertimbangan performansi masing-masing operator.

Dan ada dengan cara tax holiday, memberi kebebasan pajak dalam periode awal tertentu.

Bila berkaca pada lelang yang terakhir dimenangkan PT Telkomsel untuk spektrum selebar 30 MHz di rentang 2300 MHz yang Rp 1 trilun lebih, berapa besar untuk menebus frekuensi 5G?

Capex 10X lipat

Sementara spektrum yang tersedia seperti yang ditetapkan oleh ITU (International Telecommunication Union) – yang belum pernah dirilis pemerintah Indonesia – antara lain pita lebar (broadband) di rentang 3500 MHz, 26 GHz, 35 GHz dan 40 GHz.

Di pita-pita lebar tadi, rata-rata lebar frekuensi yang tersedia adalah 1.000 MHz.

Pita selebar 112 MHz di rentang 700 MHz juga dapat digunakan untuk layanan 4G LTE dan 5G, sehingga kelasnya menjadi “frekuensi cantik” karena sangat didambakan semua operator.

Karena 700 MHz masuk frekuensi rendah (low band), diprediksi harga limit lelangnya juga tidak terlalu tinggi.

Namun di frekuensi tinggi (milimeterband) meskipun dijual murah, karena kebutuhan layanan 5G sedikitnya lebar 100 MHz tiap operator, membayangkan besarannya saja operator sudah pusing.

Belum lagi biaya modal (capex – capital expenditure) pada penggelaran 5G yang jauh kebih tinggi dibanding generasi sebelumnya, sampai lebih dari 10X lipatnya.

Namun kenapa India dan China sudah bisa melaju dengan layanan 5G-nya?

China itu negara kaya, mereka bisa memodali operator sesuai kebutuhan, bahkan tidak hanya operator, juga semua industri.

Contohnya Huawei, yang semula hanya sebagai penjaja kotak telepon analog, ketika mulai masuk ke industri telekomunikasi diberi lahan yang luas dan gratis oleh pemerintahnya.

Tidak hanya itu, pemerintah juga membangunkan prasarananya, termasuk pabrik, gedung-gedung perkantoran, jalan-jalan, fasilitas umum dan sebagainya.

Pemerintah China pun, juga di India, memberi kelapangan bebas pajak sampai perusahaan mampu berkarya dengan baik.

Tax holiday

Di Indonesia, industri telekomunikasi dianggap industri “kelas langit” karena uang yang terlibat triliunan rupiah, tidak hanya pada operator dengan pelanggan besar, juga operator berpelanggan sedikit.

Keuntungan mereka triliunan rupiah yang masuk kocek pemilik perusahaan dan pemerintah dalam bentuk dividen dan berbagai pajak.

Karena kelas langit, duitnya pasti banyak, sehingga pemerintah dan banyak pihak berpendapat, industri telekomunikasi (seluler) tidak layak disuntik modal pemerintah.

Akibatnya pemerintah (Kominfo) selalu gamang ketika didesak operator kapan membagikan spektrum frekuensi untuk 5G, bahkan sampai menteri sudah dua kali berganti sejak zaman Rudiantara.

Frekuensi 5G menjadi semacam buah simalakama, diberikan bermasalah, tidak diberikan juga bermasalah.

Kalau saja sesaat mau sabar melupakan rezeki PNBP, pemerintah sebenarnya bisa menerapkan kebijakan tax holiday kepada operator sampai waktu tertentu, baru kemudian memungut kewajiban pembelian harga frekuensinya.

Namun kebijakan ini perlu mendapat persetujuan kementerian lain karena tax holiday jadi domain Kementerian Keuangan. Tidak bisa ditetapkan sendiri oleh Kominfo.

Risikonya pemberian kebijakan bebas pajak itu memang akan membuat kocek PNBP Kominfo melompong.

Walau tetap saja dari sisi BHP dan berbagai biaya pemerintah (government cost) masih akan ada pemasukan yang tidak sedikit.

Menyangkut masalah spektrum frekuensi 700 MHz yang tersedia selebar 112 MHz, tetapi yang akan dibagikan/dijual ke operator hanya 90 MHz.

Tidak perlu bebas pajak sementara, pita selebar itu bisa segera dilelang.

Juga kalaupun sebagian dari lebar rentang itu diberikan begitu saja kepada Telkomsel sebagai ganti diambilnya 4MHz dari 7,5 MHz milik mereka di rentang 900 MHz oleh pemerintah belum lama ini, itu tidak akan jadi masalah.

https://tekno.kompas.com/read/2023/08/24/14234057/gamang-menerapkan-teknologi-telko

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke