Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Perkembangan Mutakhir Aplikasi ICT? (Bagian I)

Nyaris sejak kita bangun tidur hingga akan tidur malam, smartphone application adalah bagian tak terpisahkan.

Riset Gartner menyebutkan, penduduk dunia telah adiktif pada superapps (aplikasi solusi all in one yang dirancang khusus untuk mobile apps).

Sedikitnya ada 15 popular superapps di seluruh dunia, yang telah diunduh sebanyak lebih dari 4,6 miliar kali di seluruh dunia dengan jumlah pengguna aktif mencapai kisaran 2,68 miliar per bulan.

Tahun 2027 nanti, diperkirakan lebih dari 50 persen penduduk dunia (atau lebih dari 3,5 miliar orang) akan menjadi pengguna aktif harian superapps.

Hal ini wajar mengingat tingginya penetrasi smartphone dan tuntutan simplifikasi dari masyarakat, maka pengguna menuntut tidak download banyak aplikasi untuk menjalankan fungsi yang berbeda-beda.

Fenomena ini dapat kita lihat dengan jelas di dua superapps terpopuler di dunia, yakni WeChat dan Grab.

WeChat, yang berasal dari China, semula hanya merupakan apps khusus berkomunikasi (messaging), namun kini merambah ke shopping, pesan antar makanan, booking perjalanan, dan lainnya.

Sementara itu, Grab, superapp dari Malaysia, dengan 187 juta pengguna dan 25 juta transaksi per bulan, awalnya hanya digunakan untuk memesan transportasi daring. Namun saat ini di sejumlah negara memungkinkan pengguna untuk dapat melakukan reservasi hotel, membeli tiket bioskop, hingga pinjaman komersial.

Semua ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari evolusi internet. Penulis melihat, pada awal kemunculannya, pada 1990-an merupakan era Internet of Data di mana internet digunakan untuk memudahkan orang mencari sejumlah data dari mana saja.

Kemudian pada 2000-an, berkembang menjadi Internet of People, yaitu menyambungkan banyak orang yang tersebar jauh melalui akses gaya hidup digital. Hingga pada 2010-an, muncul konsep Internet of Things yang bahkan menghubungkan mesin dengan manusia.

Seiring dengan memasukin tahun 2020-an hingga sekarang, terutama dipicu pandemi Corona, lahirlah konsep Internet of Place yang menghubungkan orang, ruang, dan benda dalam ranah digital disertai kepemilikan virtual-nya.

Sebagai salah satu contohnya, lahirlah kerjasama antara dua raksasa teknologi dunia, Microsoft dan Meta, yang berkolaborasi dengan Accenture dalam pengembangan Enterprise Metaverse.

Meta bekerja sama dengan Microsoft untuk membawa perangkat produktivitas ke Meta Quest Device dan Meta Work Experiences.

Termasuk di dalamnya adalah pengalaman immersive meeting Microsoft Team menggunakan Meta Quest, Microsoft 365 app experiences for Quest, Microsoft Teams/workrooms integration, Meta avatars di Microsoft Teams, serta Microsoft Intune & Azure Active Directory support for Quest.

Sementara itu, kerjasama dengan Accenture memungkinkan perusahaan dapat mengadopsi hardware dan software Meta yang terintegrasi dengan teknologi Microsoft ini. Hal ini dimulai dengan Accenture sendiri yang mengenalkan 60.000 headset Quest 2 ke karyawannya sendiri.

Aplikasi VR/AR

Derivatif Internet of Place juga melahirkan aplikasi untuk VR (Virtual Reality) dan AR (Augmented Reality). Contohnya VR digunakan perusahaan untuk pelatihan (Bank of America) dan uji coba pengguna (Volvo).

Bank of America bekerjasama dengan startup VR, STRIVR, untuk meluncurkan pelatihan berbasis VR ke 50.000 karyawannya di lebih dari 4.300 financial centers.

Pada pelatihan ini, karyawan menggunakan berbagai simulasi VR untuk meningkatkan keterampilan menghadapi klien, termasuk di antaranya membantu karyawan mendeteksi adanya fraud hingga bagaimana menghadapi klien yang rewel.

Hasilnya? Penggunaan VR membuat karyawan belajar 4x lebih cepat daripada menggunakan model biasa.

Volvo menggunakan teknologi VR yang diterapkan untuk membantu pelanggan yang tidak memiliki akses mudah ke dealer untuk menguji coba (test drive) mobil mereka. Pengalaman ini diberikan dengan menggunakan headset Google Cardboard VR.

Sementara itu, untuk AR, saat ini telah diterapkan oleh entitas Vodafone, Warby Parker, dan Ikea. AR dapat menjadi remote assistance ketika pengguna/karyawan dapat memecahkan masalah secara jarak jauh dengan menggunakan smartphone (a head-mounted device), melihat instruksi step-by-step, dan mendapatkan panduan on-the-spot secara interaktif dari manapun.

Begitulah Vodafone memanfaatkan AR. Vodafone menggunakan remote AR assistance platform untuk meningkatkan layanan customer serta memecahkan masalah teknis dan konektivitas.

Hal ini meningkatkan 12 persen dari nilai FCR (First-contact resolution) serta meningkatkan 68 persen kepuasan pelanggan.

Selain itu, Warby Parker, laman belanja daring, menggunakan AR untuk pendekatan visualisasi produk, yakni aplikasi yang dapat digunakan pengguna untuk mencoba produk.

Sedangkan Ikea membuat produk yang memungkinkan pengguna menempatkan produk yang ingin dibeli ke lingkungan rumah mereka, apakah cocok atau tidak.

VR dan AR dikembangkan secara ekstensif juga di lingkungan STEI ITB, tempat penulis bekerja, terutama di lingkungan Lab. Sistem Kendali dan Komputer maupun program S2 Teknologi Media Digital dan Game.

PWA dan ChatGPT

Tren lain mobile apps adalah Progressive Web App (PWA), yang menjadi salah satu solusi meningkatkan engagement dengan pengguna sekaligus mengurangi penggunaan kuota data.

PWA merupakan aplikasi web yang memanfaatkan fitur modern dari teknologi web untuk menyediakan pengalaman aplikasi yang serupa dengan native app.

PWA dapat diakses melalui web seperti halnya situs web biasa, namun juga dapat diinstal pada perangkat gawai seperti halnya native app. Program ini dirancang untuk bisa beroperasi di sebagian besar web browser.

Adapun sejumlah keunggulannya adalah tidak membutuhkan banyak resource dalam pengembangan, tidak memakan banyak space saat diakses, cukup dengan satu codebase untuk dapat diakses di berbagai browser dan perangkat (tidak terpengaruh OS yang digunakan), dan developer tidak perlu merilis banyak versi untuk berbagai platform.

Kemudian, PWA dapat beroperasi dengan bandwidth rendah bahkan saat offline (informasi disimpan sebagai cache dan user dapat mengaksesnya menggunakan opsi smart cache), menyediakan user experience yang berbeda dengan menggabungkan tampilan mobile app dilengkapi best performance dari website, serta lebih aman dibandingkan website biasa karena beroperasi dengan HTTPS yang menjamin keamanan pada server & client exchange.

Saat ini PWA sudah diadopsi oleh sebagian besar perusahaan. Beberapa best practise dari PWA sudah bisa dilihat pada Twitter (kini X), AliExpress, hingga perusahaan Tanah Air, BliBli. Twitter membangun Twitter Lite, yang berbasis PWA, pada 2017.

Hal ini menghasilkan bounce rate turun 20 persen, pages per session naik 65 persen, tweets sent naik 75 persen, data consumption turun 70 persen, serta average load time to log-in turun 70 persen.

Sementara itu, capaian Outcome setelah Blibli menggunakan PWA adalah bounce rate turun hingga 42 persen, page load times turun 3x, serta conversion rates/persentase pengunjung yang melakukan tindakan yang diinginkan (seperti membeli produk, mengisi formulir, atau mengklik tombol) dibandingkan mobile web browser naik 8x.

Persentase revenue per user juga naik jika dibandingkan dengan mobile website sebelumnya, yaitu naik hingga 10x.

Ali Express pun mendulang hal sama. Time spent per session naik 74 persen, conversion untuk pengguna baru naik 104 persen, sementara paged visited per session per user juga naik hingga 2x.

Tren apps yang tentu saja tak boleh diabaikan adalah ChatGPT, chatbot model bahasa besar yang dikembangkan OpenAI berdasarkan GPT-3.5 yang sangat populer.

ChatGPT memiliki kemampuan untuk berinteraksi dalam bentuk dialog percakapan dan memberikan respons yang dapat tampak sangat manusiawi, sehingga banyak rekor di dunia ICT secara global.

Saat ini sudah terdapat banyak aplikasi kompetitor ChatGPT, seperti Bard dari Google, Bing AI, Chatsonic, Jasper AI, GitHub CoPilot dan masih banyak lainnya.

Sementara itu, seperti yang telah penulis ungkapkan pada artikel sebelumnya yang juga telah tayang di Kompas.com dengan judul “Empat Catatan Penting ChatGPT”, ChatGPT memiliki beberapa kelemahan.

Salah satu di antaranya adalah masalah akurasi apa yang dikeluarkan oleh ChatGPT. Merujuk riset penulis, ChatGPT masih terbatas dalam berbagi informasi yang dapat diaksesnya dari berbagai sumber, namun tidak mengetahui keakuratan dari kesimpulannya sendiri.

Menerapkan teknologi aplikasi baru seperti ChatGPT haruslah balance, tidak hanya mengejar peluang namun juga mengedepankan risiko.

Lantas, apa lagi tren lainnya? Simak tulisan sambungannya: Bagaimana Perkembangan Mutakhir Aplikasi ICT? (Bagian II - Selesai)

https://tekno.kompas.com/read/2023/11/07/09545397/bagaimana-perkembangan-mutakhir-aplikasi-ict-bagian-i

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke