Pemuda yang kini berusia 27 tahun sejak lahir memang sudah ditakdirkan tunanetra. Sempat berhasil ditolong dengan operasi pembuatan diafragma buatan pada mata kanan sehingga mampu melihat 10 persen, tetapi setelah itu dia buta total. Meskipun menderita cacat netra, ayahnya, Rahadi Sudarsono, tidak memperlakukannya sebagai ”orang buta”. Sang ayah memperlakukan anaknya secara wajar sebagaimana orang normal, kecuali dalam hal merekam pelajaran saat Rama duduk di bangku SLTA.
”Bapak merekam semua buku pelajaran ke dalam kaset, sementara ibu membantu dengan doa dan dukungan moril,” kata Rama sebagaimana tertulis dalam blog-nya.
Rasa percaya diri itulah yang ditumbuhkan Rahadi kepada anaknya, sementara Rama menerimanya sebagai sebuah ”tantangan” karena ternyata tunanetra pun bisa mandiri tanpa harus bergantung kepada orang normal. Itu sebabnya, di semua artikel yang ditulisnya di blog, tidak ada kata mengiba-iba dan meminta dikasihani. Sebagai gantinya, ia memberi harapan dan optimisme. Ironisnya, harapan dan optimisme itu lebih ia tujukan kepada orang berpenglihatan normal yang membaca blog-nya.
Tawarkan harapan
Kepada sesama tunanetra, ia menawarkan harapan dan mengajarkan pantang berputus asa. Misalnya, ia memberi tips yang positif bagi penyandang tunanetra. ”Bagi tunanetra bisa naik pesawat terbang itu suatu keistimewaan, maka saya pun menulis tips bagaimana naik pesawat bagi tunanetra,” katanya.
”Saya ini (tunanetra) sudah beda (dengan orang normal), tetapi saya ingin berbeda dari perbedaan itu,” kata Rama mengenai filosofi hidupnya. Saat diminta menjelaskan lebih dalam makna hidupnya itu, ia mengatakan, ”Saya ingin berbeda dari rekan-rekan sesama tunanetra.”
Kalau sekadar prinsip itu, sebenarnya Rama memang beda dan bahkan istimewa dibanding tunanetra lainnya, setidaknya dalam urusan teknologi informasi. Bayangkan saja, selain menguasai berbagai program peranti lunak, dari yang paling ”jadul” seperti DOS (Disc Operation System), WordStar, sampai Windows Vista yang terbaru, ia juga mampu mengutak-atik perangkat keras komputer. ”Saya pernah merakit komputer. Memang pakai kesetrum dan ’ledakan’ segala, tetapi alhamdulillah berhasil,” kenangnya sambil terkekeh.
Rama mulai mengenal ”komputer” saat berusia lima tahun, yakni ketika Game Atari mulai muncul dan kebetulan dimiliki salah seorang tetangganya. Tahun 1996, seorang mahasiswi bernama Silvi mengajarinya mengetik 10 jari karena terkesan dengan tekad Rama yang mati-matian belajar menulis di WordStar.
Perjalanan hidup Rama dalam urusan ilmu komputer pun berubah ketika JAWS lahir dengan pembaca layarnya. Ibarat menemukan tongkat ajaib yang telah lama hilang, perjalanan Rama di bidang teknologi informasi seperti tidak terbendung. Ia kini ”mampu melihat” dan belajar tentang apa pun sesuka dia.
Dia membaca hampir semua buku best seller dan mengaku apa yang sudah dibacanya seperti menempel terus di ingatannya. Pengalaman interaksinya dengan buku dan teman-teman ia tuangkan dalam catatan harian di blog-nya.
”Bagi saya, blog sudah menjadi kehidupan kedua,” kata Rama yang pada Agustus mendatang menerbitkan dua buku dari hasil ngeblog-nya itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.