Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menuju Transparansi Sertifikasi Tanah

Kompas.com - 19/02/2009, 14:45 WIB

Tahun depan, peta online ditargetkan juga mencakup Jabodetabek. Menyusul berikutnya adalah Bandung, Surabaya, dan Makassar. Sebenarnya setiap kantor (pertanahan), datanya sudah ada. “Cuma bagaimana mensinkronisasikan data dengan pusat agar beban di server tidak besar,” kata Suyus yang memulai karier di BPN sejak tahun 1993.

Gara-gara AutoDesk MapGuide
Untuk keperluan transparansi itu, BPN telah menyiapkan hardware dan software. Sebanyak 14 Blade server HP telah dibeli, juga storage HP EVA 4000/5000 dengan kapasitas sekitar 5 terabyte (TB). Sedangkan untuk sekuriti, sebagian menggunakan Juniper, dan HP di beberapa switch. Firewall juga menggunakan Juniper.

“Semuanya lagi di-setting. Database pakai Oracle Spatial. Untuk mapping-nya, menggunakan AutoDesk MapGuide versi 2009,” tutur Suyus. “Sangat terbantu dengan AutoDesk karena semua prosesnya disiapkan dengan AutoDesk supaya datanya ready apa pun software yang akan dipakai.”

Saat ini, jelas Suyus, ada beberapa yang sedang diperbaiki di MapGuide, seperti konflik dengan Windows. Selain itu sedang dilakukan penambahan server sehingga ada dua server yang identik dan aktif bersamaan.

Sebenarnya transparansi data pertanahan ini, tutur Suyus, dipicu oleh penggunaan software AutoDesk. Awalnya memang ada kebutuhan dari internal untuk mengetahui kemajuan kerja BPN secara nasional setiap tahunnya. Contohnya, peta satelit tahun 2007 dilakukan di wilayah-wilayah mana saja.

“Setelah pakai AutoDesk dan digabungkan datanya, ternyata di-publish pun bisa. Jadi kenapa tidak (di-publish) ke masyarakat?. Apalagi tidak terlalu mahal,” cerita Suyus. “Tujuannya transparansi pelayanan ke masyarakat, agar bisa interaktif dengan BPN,” tambahnya.

Belum Akurat 100%
Sayang data yang ada sekarang belum 100% akurat. Ini, ungkap Suyus, karena data manual harus didigitalkan dulu. “Saat didigitalkan mungkin ada error. Mungkin belum semua data diplotkan, belum semua yang diukur dimasukkan ke peta. Jadi belum 100% dipetakan.”

Query-nya pun belum dilengkapi. “Tapi bisa cari alamat. Namun alamat yang ada di BPN itu belum up-to-date, jadi kita sedang bandingkan dengan alamat yang ada di peta,” kata Suyus.

Menurut Suyus, kesulitan terjadi antara lain akibat perkembangan dan pemekaran wilayah. Misalnya di sertifikat yang dikeluarkan tahun 1975 yang ketika itu belum memiliki jalan sehingga oleh juru ukur disebut Kampung A. Sekarang jalanan sudah ada, sehingga datanya tidak cocok dan perlu dicek silang satu per satu.

Tidak Cakup Girik
Sayangnya lagi, tanah yang sedang dalam sengketa tidak bisa dilihat datanya di peta online. “Ada kebijakan yang harus dilihat karena menyangkut banyak orang. Secara sistem datanya kita punya, misalnya tanah ini sengketa siapa dengan siapa. Yang sedang dibangun adalah statusnya. Databasenya sedang dibuat,” jelas Suyus.

Tanah girik juga tidak akan tercantum di peta. “Yang kita kelola baru tanah yang sudah bersertifikat, hak guna, hak milik, hak usaha. Untuk apartemen sebenarnya juga sudah ada, tapi memvisualkannya kita belum bisa. Gambar denahnya ada, tapi memvisualkannya dalam bentuk 3D, sedang dibicarakan dengan AutoDesk.“

“Prosesnya memang banyak tetapi BPN berusaha memberikan pelayanan pada masyarakat agar mereka lebih tenang karena (tahu tanahnya) sudah diplotkan di BPN. Kalau belum, ya lapor,” kata Suyus.

Saat ini semua kantor BPN masih melakukan digitalisasi. Dari 35 juta sertifikat yang sudah dikelusarkan, baru 11 – 12 juta yang sudah didigitalkan. “Ke depannya semua data spasial, infrastruktur harus publish,” ungkap Suyus.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com