Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemerdekaan Ekonomi?

Kompas.com - 15/08/2011, 02:58 WIB

John Perkins dalam buku Confessions of an Economic Hit Man atau ”Pengakuan seorang perusak ekonomi” menyebutkan, ”Penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat Pulau Jawa.” Di halaman 13 disebutkan, ”Saya tahu bahwa saya harus menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa. Saya mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar statistik yang dibuatnya.”

Halaman 15: ”Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran untuk memberikan utang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsultan di mana John Perkins bekerja) dan perusahaan-perusahaan Amerika lain (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lain telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca: Indonesia) jadi target empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”

Halaman 15-16: ”Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang (baca: Indonesia) yang sudah kaya dan berpengaruh di negara masing-masing. Dengan demikian, ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan jasa-jasa sosial lain selama berpuluh-puluh tahun tak perlu masuk dalam pertimbangan.”

Halaman 15: ”Faktor yang paling menentukan adalah pendapatan domestik bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek tersebut akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.”

Halaman 16: ”Claudia dan saya mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.” Claudia (Claudia Martin) adalah pejabat CIA yang memberi perintah-perintah kepada John Perkins.

Halaman 19: ”Sangat menguntungkan buat para penyusun strategi karena di tahun 1960-an terjadi revolusi lain, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”

Infrastruktur hukum

Bagaimana perkembangan infrastruktur hukum kita sebagai perwujudan dari penjajahan ekonomi sejak 1967? Bradley Simpson dalam buku Economists with Guns menyebutkan, AS sangat dominan memengaruhi penyusunan UU tentang investasi Indonesia. Seorang konsultan dari Van Sickle Associates yang berdomisili di Denver (yang baru saja menandatangani kontrak bagi hasil untuk pembangunan dan pengoperasian dua perusahaan plywood) membantu ekonom Widjojo membuat UU tentang penanaman modal asing. Setelah drafnya selesai, para pejabat Indonesia mengirimkannya ke Kedubes AS di Jakarta dengan permohonan agar Kedubes AS memberikan komentar untuk ”perbaikan-perbaikan yang mencerminkan pendirian para investor AS”. Para ahli hukum Kementerian Luar Negeri AS mengirimkan kembali draf UU dengan usulan baris demi baris. Mereka keberatan terhadap draf UU-nya karena memberikan terlalu banyak kewenangan ke pemerintah, karena sektor BUMN diberi peluang banyak bidang-bidang usaha yang diinginkan perusahaan-perusahaan besar asing yang ingin masuk ke sektor-sektor tersebut, terutama perusahaan-perusahaan ekstraktif.

Widjojo mengubah UU tersebut disesuaikan dengan usulan AS, dengan menggunakan kata-kata yang akan menjamin liberalisasi maksimal, yang disukainya juga, tetapi sambil menyogok (placating) kaum nasionalis yang selalu waspada terhadap tanda-tanda dari tunduknya Jakarta kepada tekanan Barat.

Tahun 1967 itu juga terbit UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal 6 Ayat 1 menyebutkan perusahaan patungan swasta Indonesia dan swasta asing boleh memiliki dan menguasai bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak: pelabuhan; produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum; telekomunikasi; pelajaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; pembangkitan tenaga atom; media massa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com