Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelar Raja dan Tragedi Buruh Migran

Kompas.com - 06/09/2011, 02:25 WIB

Anis Hidayah

Penganugerahan gelar doktor honoris causa oleh Universitas Indonesia kepada Raja Arab Saudi Abdullah terus disoroti. Gelar kehormatan yang diantar langsung ke Istana Al-Safa pada 21 Agustus lalu itu terus melukai nurani kita yang selalu dipaksa bersedih dan menderita.

Hanya selang dua bulan setelah Ruyati tak mampu membela diri hingga dihukum pancung (18/6), sang raja bangsa yang suka memperbudak manusia itu mendapat gelar doktor kehormatan di bidang kemanusiaan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Gelar itu justru datang dari institusi pendidikan terkemuka dari sebuah bangsa yang rakyatnya banyak jadi korban di negeri sang raja.

Wajarlah berkembang pendapat bahwa penganugerahan gelar itu sama dengan pembenaran semua pelanggaran dan penistaan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di sana. Jalan pikiran inilah yang telah diteriakkan anak Ruyati yang hingga kini tak mendapat pembelaan.

Lazim memang dalam dunia akademik memberi gelar kehormatan kepada individu yang dinilai patut dan layak menerimanya. Namun, harus ada pertimbangan sosial, politik, ataupun ekonomi yang mungkin ditimbulkannya. Dalam hal ini, sang rektor tentu tak berdiri sendiri di atas dua kakinya. Ada senat universitas yang selalu mengelilingi dia untuk mengatur arah kebijakan kampus. Patutlah kita terbelalak: mata nurani yang buta sedang menghinggapi akademisi UI.

Ketika sebagian besar warga negeri ini meradang dengan pemberian gelar itu, Rektor UI yang menggadaikan martabat bangsa ini di hadapan penguasa petrodollar justru menyarankan kita agar tak meributkannya sebab, menurut sang rektor, pemberian gelar itu dapat membuka akses pendanaan membantu universitas mengembangkan diri.

Kontroversi serupa pernah terjadi ketika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang kala itu gencar membangun universitas setelah konversi dari IAIN, memberi gelar kehormatan kepada PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi di bidang pemikiran Islam. Badawi yang mengaku sebagai penggagas konsep Islam Hadhari, yaitu Islam yang lebih beradab, modern, dan progresif, dipandang layak menerima gelar itu (24/6/2006).

Migrant CARE, yang merasa Pemerintah Malaysia tak memperlakukan buruh migran Indonesia secara layak, memprotes keras pemberian gelar itu. Sangat disayangkan, UI membuat sejarah yang sama dengan UIN Syarif Hidayatullah ketika gencar menuju universitas kelas dunia.

Tragedi buruh migran

Arab Saudi adalah tujuan terbesar kedua buruh migran Indonesia setelah Malaysia. Saat ini hampir 1,2 juta buruh migran Indonesia bekerja di sana. Sebagian besar di antaranya adalah pekerja rumah tangga migran. Menurut catatan Migrant CARE, dalam kurun waktu 2006-2010, setidaknya 1.105 buruh migran Indonesia meninggal dunia di Arab Saudi: sebagian meninggal karena penyiksaan. Selain itu, ribuan pekerja rumah tangga migran Indonesia juga mengalami pemerkosaan, penyiksaan, dan praktik perbudakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com