Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/03/2012, 08:37 WIB

 

JAKARTA, KOMPAS.com — Kajian akademis kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik dikecam. Dampak kenaikan yang dipublikasikan Kementerian Perindustrian semestinya ditunjukkan sektor per sektor industri. Tidak bisa kenaikan secara agregat dijadikan patokan harga produk.

Staf Khusus Menteri Perindustrian Benny Soetrisno, di Jakarta, Kamis (8/3/2012), mengatakan, sektor-sektor industri bakal tersinggung dengan dampak agregat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dipublikasikan. Padahal, mereka harus bersaing dengan produk impor legal yang nilainya lebih kompetitif. Apalagi, dengan produk impor ilegal.

Dari kajian Kementerian Perindustrian antara lain disebutkan dampak agregat, khususnya kenaikan harga bensin Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter atau 33 persen serta kenaikan Rp 2.000 atau 44 persen, menurunkan keluaran (output) sektor industri pengolahan nonmigas relatif kecil. Hanya 0,12 persen dan 0,14 persen (Kompas, 8/3/2012).

Sekretaris Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani memandang, lemahnya koordinasi antarkementerian dan tidak jelasnya fokus pertumbuhan ekonomi menyebabkan Kementerian Perindustrian seolah berjalan sendirian. ”Pertumbuhan industri makanan dan minuman sangat ditentukan daya beli masyarakat, daya saing produk dalam negeri, perluasan dan investasi industri baru, serta tak kalah pentingnya bersaing dengan produk ilegal,” katanya.

Ada industri yang langsung dan tidak langsung terpengaruh dengan kenaikan harga minyak dunia. Biaya energi di manufaktur bisa mencapai 5-10 persen, sementara sektor distribusi mencapai 35-50 persen. ”Kenaikan TDL 10 persen akan mendorong lebih tinggi lagi naiknya biaya produksi. Secara tegas, Gapmmi menolak kenaikan TDL,” ujar Franky.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, listrik bagian dari struktur biaya sekitar 20 persen. Lebih dari kenaikan harga BBM dan TDL, penerapan Peraturan Menteri Keuangan No 253, 254, dan 255 lebih berdampak pada investasi dan ekspor. (OSA/RYO)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com