Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amanat TIK untuk Pemerintahan Mendatang

Kompas.com - 18/06/2014, 14:31 WIB

Hal Strategis Lainnya

OTT jadi perhatian berikutnya. Sekalipun frase apakah dia kawan atau lawan (friend or foe) terus berdenging di telinga kita terhadap posisi OTT ini, namun sekali lagi dalam konteks kedaualatan negara, ada posisi sudut pandang yang jelas terhadap mereka.

Terlebih beberapa data menunjukkan betapa kekuatan mereka bisa hancurkan semuanya. Sebut misalnya Youtube milik Google yang saat ini menyumbang sekira 24% global mobile traffic.

Skype tak kalah mengancam, dengan 280 juta pengguna aktif plus total penggunaan 2 miliar menit per hari (7 menit per hari per pengguna ) atau setara 730 miliar menit per tahun (2.555 menit per tahun per pengguna)
Secara makro, dari 1,6 miliar pengguna smartphone di dunia tahun 2013, 1 miliar di antaranya pengguna OTT. Dari 3,1 miliar pengguna smartphone di dunia tahun 2017, 2,1 miliar pengguna OTT. Dengan demikian, OTT hari ini dan kemudian hari akan cepat menggerus dua lini eksisting pendapatan operator seluler yakni voice dan SMS.

Pergeseran kedua lini utama pendapatan ini sudah dirasakan dampaknya oleh industri operator seluler dunia. Sebuah riset tahun 2013 lalu menunjukkan, layanan keseluruhan voice diperkirakan turun dengan CAGR -2,5 %, sedangkan SMS -4,2 %. OTT melesat cepat tanpa perlu investasi infrastruktur!

Ketimpangan kemudian terjadi manakala pemain OTT ini terus meraih untung dari kanal periklanan yang mereka sediakan semisal Google Adsense tanpa perlu bayar pajak di negeri kita. Di sisi lain, untuk satu SMS pendek sekalipun, operator seluler dipungut pajak oleh pemerintah.

Situasi ini, cepat atau lambat, segera menyeruak di Indonesia, apalagi jika antisipasi dan penegakan regulasinya lambat dilakukan. Terlebih fakta bisnisnya di Indonesia, kebutuhan OTT kian meningkat namun tak dibarengi peningkatan daya beli masyarakat. Malah tarif cenderung turun terus imbas price war dan hypercompetition.  

Jika pemerintah mendatang, khususnya Menkominfo, tak menangani ini serius, maka industri TIK Indonesia bisa menyusut cepat dan malah runtuh dalam 10 tahun ke depan. Pemerintah harus mampu meningkatkan nilai tawar kekuatan sumber daya yang dimiliki bangsa di mata OTT.

Satukanlah kekuatan infrastruktur dan kekuatan infostruktur TIK nasional, sehingga kita tak benar-benar loss dalam peta baru bisnis TIK modern tersebut. Penghimpunan kekuatan ini selanjutnya menjadi modal melakukan kemitraan strategis dengan pihak OTT secara win-win.

Secara simultan, berlakulah tegas dalam penegakan aturan, terutama terkait UU ITE dan PP ITE 82/2012 sendiri yang mewajibkan penyelenggara layanan elektronik bagi publik memiliki data center dan disaster recovery center di Indonesia serta memiliki business continuity plan yang efektif.

Sebagai penyedia layanan elektronik untuk publik, maka sudah seharusnya mereka berinvetasi di Indonesia. Di sisi lain, industri nasional data center pun kian kompetitif dengan kebutuhan layanan diperkirakan mendekati 150.000 meter persegi (raised floor) beserta nilai bisnisnya Rp 4 triliun.  

Akhir kata, yang kita perlukan dari semuanya ini ke depan adalah Presiden dan Menkominfo yang gigih mempertahankan kepentingan negara, visioner, dan bertaring menegakkan aturan tanpa perlu takut latar belakang asing ataupun kekuatan besar di balik OTT.

Cukuplah preseden buruk BlackBerry (yang membangun pabrik malah di Malaysia dan tak jua punya data center padahal Indonesia pengguna terbesar di dunia) sepenuhnya berakhir di pemerintahan eksisting!

Tentang Penulis: Dimitri Mahayana adalah Chairman Lembaga Riset Telematika Sharing Vision/ www.sharingvision.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com