Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tentang "Handphone Sejuta Umat"

Kompas.com - 27/06/2015, 13:14 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Tak ada merek yang abadi

Jadi, apa ceritanya? Ya itu tadi, bahwa tak ada yang abadi. Merek yang pada suatu masa pernah jadi raja di pasar, pada hari ini bahkan untuk mempertahankan keberadaan dirinya saja tak bisa. Tentu, bukan berarti tak ada merek yang bisa bertahan berdekade-dekade bahkan sampai hitungan abad.

Setiap benda—bahkan makhluk hidup—secara alami punya siklus “hidup”. Merek dan perusahaan bukanlah perkecualian. Bila dibiarkan saja semua berjalan secara alami, setiap benda dan makhluk akan turun ke masa surut dan lalu mati. Hanya mereka yang bisa menemukan kata kunci “kecuali” yang bakal melawan “takdir” siklus ini, setidaknya dapat memperpanjang putaran siklus tanpa harus terlebih dulu melewati mati.

Perjalanan “henpon-henpon sejuta umat” adalah contoh paling kasat mata dari siklus yang tak terhindarkan ini. Dari ranah teknologi “tetangga” ada pula merek besar seperti IBM yang kini tinggal kenangan, tergeser oleh produk Microsoft bahkan Apple yang pada masa jaya IBM justru tersandung produk gagal semacam “Lisa Project”.

Ichak Adizes, seorang pakar manajemen, pernah mengatakan, "Perusahaan yang bagus harus mampu memperbaharui dirinya dan memperpanjang kesuksesan bisnis." Menurut dia, ada banyak perusahaan yang sukses setelah mendaki dari bawah kemudian berubah kaku.

Di antara penyebab kekakuan itu, sebut dia, "Orang-orang menerapkan aturan-aturan tentang cara menjalankan perusahaan dan mempertahankan aturan-aturan ini saat kondisi di sekitarnya telah berubah."

Sementara Jack Welch dari General Electric berujar, siklus perusahaan juga terkait dengan soal kemampuan perusahaan tersebut berubah. Indikator yang paling kasat mata tentang kemampuan berubah tersebut adalah pertumbuhan angka penjualannya.

Menggunakan analogi, Adizes melengkapi hipotesanya, "Perubahan seperti berkebun. Jika Anda menggarapnya, maka rumput liar tak akan datang dan bunga-bunga akan bermekaran. Jika Anda tak merawatnya, rumput liar akan mengambil tempat bunga-bunga."

Nah, bisa jadi perusahaan-perusahaan yang pernah menjadi raksasa di bidangnya semacam Nokia dan BlackBerry pun sudah berusaha terus membuat perubahan—baca: terobosan dan inovasi—untuk menjaga siklus hidupnya tetap di puncak. Namun, bisa jadi langkah itu terlambat, atau parafrase dari kata Adizes ,  jangan-jangan perubahan itu dilakukan menggunakan sistem yang sudah tak sesuai perkembangan zaman.

Android, sistem operasi sejuta umat?

Pertanyaannya sekarang, ketika setidaknya sampai akhir 2014 pangsa pasar gadget berbasis sistem operasi Android melebihi 80 persen, apakah frasa "henpon sejuta umat" bisa disandangkan kepada mereka? Ataukah, frasa tersebut yang harus dimodifikasi menjadi "sistem operasi sejuta umat"?

Tentu, bila modifikasi tersebut yang terjadi, Microsoft layak protes. Selama setidaknya tiga dekade terakhir, produk personal computer mereka di bawah label "Windows" digunakan oleh berjuta-juta umat, baik versi yang berlisensi maupun bajakan.

Terlepas dari frasa-frasa plesetan tersebut, adakah generasi sekarang dan mendatang bakal berjumpa lagi dengan produk-produk yang sebegitu spesifik hingga bisa mengubah gaya hidup sekian juta manusia, bahkan sampai memunculkan frasa semacam itu? Kali ini, jawabannya barangkali tergantung kepada kita semua, di setiap bidang profesi dan aktivitas.

Rasanya, tantangan itu adalah memastikan perubahan terus berlangsung, menuju arah yang tepat dan pada waktu yang pas. Kata kunci “kecuali” dalam cerita ini adalah kehadiran proses pembaruan tiada henti, yang tak membiarkan zona nyaman dan status quo menjadi pijakan awal dari bakal hilangnya sebuah nama produk maupun perusahaan.

Jadi, selamat memastikan kebaruan terus terjadi, meski itu harus melewati sejuta proses perubahan!! Siapa tahu, kepastian ini akan menghadirkan sejuta karya inovatif yang menjadi manfaat bagi berjuta-juta umat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com