“Apa aja deh Mbak, yang penting muat, SERABUTAN juga boleh,” saya biasanya menawarkan.
“Ditulis praktisi digital / eksportir buah, ya Mbak?”
“Iya boleh aja,” saya manggut setuju. BIarlah kebingungan si Mbak jadi milik masyarakat luas!
Saya sebenarnya anak digital banget. Sebagai Gen Y, sudah secara natural saya menjadikan internet kulit kedua yang lengket di badan. Bangun pagi langsung ngecek semua social media, nyetir sambil buka media online, kerjanya seharian balas email, lalu transfer uang via e-banking, beli sepatu di e-commerce, dan e-e lainnya. Saya menulis via medium blog, lalu menjadi editor media online selama delapan tahun.
Praktisi digital, jelas judul yang lebih cocok. Seperti teman-teman seangkatan, saya khatam dunia digital. Saya sangat percaya bahwa dunia ini keren banget. Segala sesuatunya bisa dilakukan lebih cepat, lebih hemat, lebih merata. Yeah, digital is my passion! Begitu bahasa kerennya.
Sebagai anak generasi ini juga, saya tidak bisa melihat digital sebagai dunia yang terpisah sendiri dalam sebuah gelembung bola sabun. Internet adalah sebuah media, seperti TV, radio, atau koran. Sebagai media, internet hanya mengamplifikasikan apa yang ada di dunia nyata, tempat semua interaksi itu terjadi.
Bayangkan TV. Ia menyiarkan tentang hal-hal yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Ia mendiskusikan topik-topik yang jadi bahasan ibu-ibu tetangga. Tapi televisi, tanpa program di dalamnya, hanyalah sebuah kotak kosong.
Demikian juga internet. E-banking, adalah layanan jasa perbankan via online. Duitnya ya ada beneran. Rekeningnya milik orang sungguhan, punya KTP dan saldo minimal.
Namun saking kerennya internet ini, ada kecenderungan yang menjadikan internet seolah bagian terpisah dari kehidupan dan bisa berdiri sendiri. Seolah-olah mentang-mentang judulnya dunia maya, tidak perlu punya aksi nyata dalam kehidupan.
Bisnis dan produk dunia maya diperjualbelikan dengan angka miliyaran hingga triliunan rupiah. Barangnya sedikit, servisnya abal-abal, nilai riilnya nggak lebih dari modal jutaan rupiah.
Buntutnya, banyak wacana bertebaran. Aksi-aksi solidaritas bergaung di internet tapi sedikit yang punya wujud nyata. Makin serem ketika tokoh-tokoh online diberi jabatan dunia nyata, meski pencapaiannya masih sebatas jumlah followers.
Dan hal ini yang membuat saya, anak yang lahir dan dibesarkan di dunia online, kok tiba-tiba merasa lebih nyaman disebut pedagang buah, sebuah jabatan yang kuno banget dibandingkan titel sebelumnya. Sektor Riil. Tempat kerjanya bapak-bapak. Keringetan. Idih.
But for once, I can really see direct impact of my work. Ada ibu-ibu yang tadinya tidak berpenghasilan, kini bisa nabung sedikit dengan membersihkan manggis untuk ekspor ke Perancis. Ada petani yang makannya jadi lebih banyak karena harga salak lebih stabil saat banyak eksportir berperan.
Semua nilai yang saya cita-citakan dalam kerja digital, tentang pemerataan kesempatan, peningkatan kesejahteraan, kini jadi punya bentuk.
Bukan berarti semua kerjaan digital itu tidak konkret. No, saya akan jadi orang pertama yang menentang keras. Sudah banyak orang kaya beneran dari internet. Namun saya cuma ingin selalu ingat bahwa mereka kaya, karena mereka menemukan masalah yang RIIL, dan mencari solusinya lewat internet, untuk membantu orang BENERAN hidup lebih baik.
Seperti Alibaba.com diciptakan karena kendala perusahaan kecil memasarkan produk, agar setiap orang bisa bertemu pembeli dan melakukan bisnis BENERAN.
Mudah-mudahan orang yang bergelut di dunia digital bisa selalu punya dua judul, karena selalu punya pengaruh di dunia nyata (Biarpun jangan sejauh saya). Sehingga semakin banyak punya dua jabatan, semacam: Social Media Influencer / Real Life Influencer.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.