KOMPAS.com – Demonstrasi para sopir taksi menentang layanan transportasi online, Selasa (22/3/2016), masih saja jadi pro-kontra. Soal perizinan, perkembangan teknologi, dan—yang terpenting—jawaban atas kebutuhan publik, menjadi kisaran perdebatan.
Seorang teman punya celetukan yang cukup menggelitik, menyikapi demonstrasi itu. “Kalau saja pekerja media cetak sampai agen koran punya pikiran seperti sopir taksi ini, Kompas.com dan semua media online habis sudah digeruduk,” ujar dia.
Dalam kasus media massa, oplah media cetak memang terus susut sejalan perkembangan teknologi internet dan gadget, digantikan perannya oleh media online. Pendapatan perusahaan media cetak hingga para agen dan loper, jelas banyak tergerus dibandingkan sepuluh tahun lalu.
Belum lewat celetukan itu menggelitik pikiran, kawan lain dalam kesempatan berbeda menambahi, “Untung ya pegawai pos dan pemilik warung yang jualan prangko tak punya pikiran seperti sopir taksi ini. Masa, semua provider layanan e-mail mau didemonstrasi habis-habisan?”
Bisa jadi dua celetukan tersebut dinilai sebagai simplifikasi persoalan. Namun, coba dipahami dulu dengan lebih tenang, duduk persoalannya memang sama. Kata kuncinya juga tak jauh-jauh dari internet, online, aplikasi, dan kebutuhan publik.
Bahkan, dalam kasus media online, persoalan perizinan usaha juga bisa masuk, sekalipun tak mencakup semua media online. Tidak semua media online yang menayangkan konten pada hari ini adalah perusahaan terdaftar, boro-boro sebagai perusahaan media.
Perubahan
Adagium berikut ini terkenal lewat ungkapan Charles Darwin, meski bukan dia pencetus pertamanya. “Bukan yang terkuat atau terpintar yang bisa bertahan, melainkan yang paling bisa menyesuaikan diri.”
Pernyataan di atas sudah masuk kategori klasik, bahkan klise. Namun, saat berhadapan dengan kenyataan, frasa paling “basi” seperti itu pun mendadak hilang dari ingatan.
Daripada menentang perubahan yang tak cuma terjadi pada satu kasus—yang karenanya tak bisa disebut murni penyimpangan—akan lebih baik bila persoalan dibedah lebih mendalam.
Lagi pula, terlalu ironis menyaksikan orang-orang yang sama-sama cari makan malah bertengkar, sementara pemilik perusahaan dan asosiasi angkutan umum tak membuat perubahan langkah menyikapi perkembangan zaman.
Jangan-jangan yang harus didemo adalah perusahaan dan asosiasi angkutan umum. Coba ditelaah lagi, dari mana angka awal tarif “buka pintu” taksi berawal? Apa acuan pembagian komisi untuk sopir taksi dan perusahaan?
Kenapa perusahaan taksi X bisa memberikan pengemudi mobil yang dikendarainya lewat mekanisme cicilan, sementara perusahaan Y “mencukupkan diri” dengan sistem komisi dan fasilitas kesejahteraan berbasis angka minimal setoran?
Untuk skala perusahaan taksi yang kehadirannya “menjadi ancaman” bagi angkutan umum di banyak kota, tidak adakah juga inovasi untuk membuat layanan berbasis online? Bukankah dulu sempat ada inovasi serupa, meski tetap harus melalui operator di kantor perusahaan? (Baca: Benarkah Aplikasi Onlie Mengancam Bisnis Taksi Konvensional?)