Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reska K. Nistanto

Wartawan teknologi dan pehobi dunia penerbangan.

kolom

Tabrakan Batik Air dan TransNusa, Bahaya Tersembunyi di Bandara Halim

Kompas.com - 05/04/2016, 14:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReza Wahyudi

Tabrakan antara pesawat Boeing 737-800 Batik Air dengan ATR42-600 Transnusa di bandara Halim Perdanakusuma Jakarta bagi pemerhati penerbangan tidaklah mengejutkan. Pasalnya, selama ini, karakteristik dan operasional bandara Halim menyimpan sebuah potensi bahaya.

Di kalangan pelaku industri penerbangan (pilot, petugas operasional penerbangan, mekanik, dan sebagainya) yang sehari-harinya beraktivitas di bandara Halim Perdanakusuma, mereka sebenarnya telah menyadari bahwa ada potensi hazard yang tinggal menunggu terjadi.

Potensi itu semakin tinggi kemungkinannya saat pergerakan pesawat semakin banyak.

Pada April 2014 lalu, saat Citilink mulai beroperasi di Halim, pergerakan pesawat hanya 32 penerbangan setiap hari, kini setelah Batik Air beroperasi di bandara tersebut, pergerakan pesawat menjadi sekitar 60 penerbangan setiap hari.

Belum lagi ditambah dengan pergerakan pesawat latih, militer, helikopter, VIP, atau VVIP di bandara tersebut. Hampir mencapai kapasitas pergerakan maksimalnya yang 74 penerbangan setiap hari.

Seperti diberitakan, Senin (4/4/2016), ujung sayap B737 Batik Air menabrak vertical stabilizer (sayap tegak) ATR42-600 Transnusa saat sedang takeoff run. Pesawat ATR42-600 Transnusa saat itu sedang ditarik towing truck melintasi runway.

istimewa/twitter Sayap kiri pesawat Boeing 737-800 Batik Air yang bertabrakan dengan pesawat ATR42-600 TransNusa di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, Senin (4/4/2016).
AvHerald ATR42-600 Transnusa yang bertabrakan dengan B737 Batik Air.
Beruntung insiden tersebut tidak sampai merenggut korban jiwa, hanya kerugian materi dari kedua pihak dari kerusakan pesawat.

Insiden tersebut sekaligus membuka mata kita, bahwa dengan semakin meningkatnya pergerakan di suatu bandara, dibutuhkan juga perbaikan atau peningkatan sarana pendukungnya.

Potensi bahaya tersembunyi

Operasional di Halim Perdanakusuma berbeda dengan operasional di bandara lain di Indonesia pada umumnya, yang hanya memiliki satu apron (tempat parkir pesawat).

Halim Perdanakusuma memiliki apron di sisi utara dan selatan yang dipisahkan oleh runway (24 - 06) yang berlokasi di tengah-tengah.

Google Maps Layout bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Dengan adanya dua apron yang terpisah oleh runway, lalu lintas pesawat tak hanya paralel dengan runway, melainkan juga melintas (crossing) runway.

Selain itu, selama ini operasional pergerakan pesawat di darat di bandara Halim berbeda dari standar di bandara pada umumnya. Di bandara-bandara besar lain terdapat frekuensi radio khusus untuk mengatur pergerakan pesawat, atau biasa disebut Ground Frequency.

Nah, di bandara Halim ini, ATC Ground dan Tower digabung menjadi satu (118,6 MHz), namun tugasnya tidak sepenuhnya menangani operasional darat dan udara.

Tugas Tower yang merangkap Ground itu hanya mengontrol lalu-lintas penerbangan yang hendak terbang (pergerakan dari parkir, berjalan di taxiway hingga takeoff) dan setelah mendarat (keluar dari taxiway dan taxi menuju apron).

Sementara pergerakan-pergerakan lain, seperti pemindahan pesawat, mobil operasional yang berlalu-lalang, dikontrol oleh Apron Movement Control (AMC) yang dalam operasinya sehari-hari menggunakan handy talkie (HT), frekuensi yang terpisah dengan ATC.

Dengan frekuensi dan alat yang berbeda itu, pilot di darat dan petugas towing (traktor yang menderek pesawat) tidak dikontrol oleh satu orang (Ground Frequency). Pilot dikontrol oleh ATC Tower, sementara pergerakan lain di darat dikontrol oleh AMC.

Memang, petugas towing biasanya selain berkomunikasi dengan HT juga memonitor frekuensi Tower yang mengatur lalu-lintas penerbangan, termasuk takeoff-landing. Namun operasional seperti itu tidak efektif.

Akan lebih efektif jika dibuat kanal radio khusus untuk Ground Frequency dimana setiap pergerakan di darat dilaporkan kepadanya. Artinya, satu kanal radio khusus yang mengontrol semua pergerakan di darat, baik untuk lalu-lintas pesawat, maupun lalu-lintas operasional lain.

Seperti di bandara Soekarno Hatta dan bandara-bandara besar lainnya, semua pergerakan pesawat di darat, seperti memindahkan pesawat dari bengkel GMF ke terminal atau parking stand, dilaporkan dan bergerak atas izin ATC Ground.

Digabungnya frekuensi Ground dan Tower di bandara Halim memang terkesan efektif karena dahulu lalu-lintasnya masih tak seramai sekarang. Namun kini hal itu dirasa sudah tidak berlaku lagi.

Bandara Halim yang dulunya hanya sebagai pangkalan militer, dan melayani penerbangan charter dan lalu-lintas pesawat latih milik sekolah-sekolah penerbangan yang ada di Halim itu kian ramai setelah dua maskapai besar, Batik Air dan Citilink mulai beroperasi di sana.

Rekomendasi

Untuk itu, dengan semakin meningkatnya lalu-lintas penerbangan di Halim Perdanakusuma, sebaiknya dilakukan juga upgrade dari sisi teknis operasional bandara.

Peningkatan yang perlu dilakukan, antara lain penambahan frekuensi untuk ATC Ground yang mengatur pergerakan pesawat di darat, seperti layaknya bandara-bandara komersil lain di Indonesia, seperti Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda Surabaya, dan Ngurah Rai Denpasar.

Dengan adanya ATC Ground maka operasional akan sesuai dengan standar di bandara-bandara besar lain.

Tugas ATC pun semakin ringan karena ada pembagian kerja, ATC Ground bertugas mengontrol pergerakan di darat, Tower mengontrol takeoff-landing, dan ATC Approach untuk memandu pendaratan.

Selain itu, untuk efisiensi operasional, ada baiknya jika dibangun taxiway paralel yang menghubungkan apron utara dengan runway 24 - 06, sehingga tidak banyak pergerakan pesawat yang melintas runway. (lihat gambar di bawah)

Google Maps Pembangunan taxiway baru bisa membuat pergerakan lebih efisien.
Sebab, selama ini, jika hendak takeoff dari runway 24 Halim, pesawat seperti harus berkeliling dulu melewati dua apron untuk kemudian masuk runway dan backtrack (berjalan ke ujung runway lalu berputar). Ini tidak efisien.

Dengan adanya taxiway paralel maka pesawat memiliki akses langsung dari apron ke ujung runway.

Dua faktor di atas, yaitu komunikasi yang tidak efektif dan layout bandara, menurut penulis, menjadi faktor yang berkontribusi terhadap insiden Batik Air dan Transnusa di bandara Halim.

Saat ini investigasi insiden tersebut sedang dilakukan oleh tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Penulis berharap semoga salah satu rekomendasi KNKT dari hasil investigasinya adalah termasuk yang ditulis di atas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com