Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

kolom

Pokemon, Ketika Hidup adalah Permainan

Kompas.com - 22/07/2016, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReza Wahyudi

Tak lama, kesebelasan B membalasnya. Sebuah tendangan kencang dari sudut kotak penalti menggetarkan jala gawang A. Kembali, Sang Rabbi bersorak girang. Ia berjoget meluapkan rasa senangnya.

Orang-orang yang di sekitarnya bingung melihat tingkah aneh Rabbi ini.

“Rabbi,” seorang penonton tak mampu menyembunyikan rasa herannya. “Sebenarnya, tim mana yang Anda dukung?”

Sang Rabbi tertawa. “Saya tidak mendukung salah satu pihak. Saya menikmati pertandingannya.”

Rabbi yang aneh, pikir saya saat pertama mendengar cerita itu.

Bapak asrama saya kala itu menjelaskan, cerita itu ingin mengantarkan sebuah pesan bahwa orang kerap melupakan betapa indahnya hidup ini karena terpaku pada ujung –ujung kehidupan.

Sekarang di sini

Banyak orang hidup digelayuti masa lalunya atau disibukkan oleh aneka pikiran tentang masa depan dan melupakan hidup mereka saat ini di sini. Live at the present moment.

Banyak  orang bertanya apakah ada kehidupan setelah kematian, tapi lupa bertanya apakah ada kehidupan sebelum kematian. 

Banyak orang sibuk memikirkan hidupnya setelah kematian dan lupa menikmati hidupnya sebelum kematian.

Banyak orang lupa bahwa hidup adalah sebuah pesta yang harus dirayakan dengan gembira. Cinta dan welas asih adalah jamuannya.

Demi tujuan hidup, bahkan tujuan-tujuan yang sangat pendek apapun bentuknya, banyak orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan itu dan mengabaikan proses yang selayaknya dijalani dengan gembira.

Barangkali, kita memang banyak dididik dan tumbuh berkembang dalam kultur masyarakat yang memuliakan hasil dan menisbikan proses.

Di sebuah siang, di akhir pekan,  di dalam kereta commuter line saya pernah mencuri dengar percakapan seorang ibu dengan anaknya, seorang bocah lelaki yang duduk di sekolah dasar. Taksiran saya, anaknya duduk di kelas 4 atau 5.

Kepada ibunya, anaknya mengungkapkan kekhawatirannya bahwa barangkali dia tidak bisa mendapatkan nilai bagus di ujian matematika hari Senin nanti. Kata-kata Si Ibu pada anaknya membuat hati saya meleleh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com