Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Startup-mu Bukanlah Startup-mu

Kompas.com - 01/11/2016, 11:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorDeliusno

Mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang digital, sekarang lebih keren disebut dengan istilah startup, memang bukan kegiatan yang mudah. Tapi bukan berarti tidak usah dilakukan.

Ia adalah kegiatan yang penuh dengan lika-liku dan daya upaya. Kadang, butuh dorongan ekstra untuk sekadar melalui satu hari saja.

Perjuangan ekstra itu, yang penuh “darah, keringat dan air mata” itu, bisa membuat seorang pendiri memiliki ikatan emosi yang mendalam dengan usaha rintisannya. Maka terasa janggal jika, pada suatu waktu, seorang pendiri memilih untuk meninggalkan usaha yang dirintisnya.

Tapi sesungguhnya hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Akan datang masanya saat usaha rintisannya mencapai tahap tertentu dan sang pendiri perlu melepaskan diri dari perusahaan yang telah dirintisnya itu.

Baik secara penuh-seluruh, dalam artian tidak lagi berada di dalamnya, ataupun sekadar mengambil peran yang lebih kecil dan membiarkan orang lain yang ambil kendali.

Seperti puisi Kahlil Gibran yang terkenal itu: anakmu bukanlah anakmu. Maka, startupmu bukanlah startupmu.

Kapan exit?

Wajar jika seorang pendiri startup merasa kesulitan lepas dari usaha yang dirintisnya. Namun rasa susah move on itu juga kadang dialami oleh pihak lain yang punya peran (dan tentunya saham) atas sebuah startup. Contohnya adalah pihak inkubator.

Seorang teman bertanya pada saya, kenapa ya inkubator startup di Indonesia senang sekali memegang portofolionya?

Maksud pertanyaannya adalah seperti ini, program inkubasi startup lazimnya mencakup perjanjian equity (kepemilikan saham). Persentase tertentu dari saham usaha rintisan yang mengikuti program inkubasi itu akan menjadi milik inkubator.

Nah, pertanyaan teman saya itu merujuk pada keengganan inkubator untuk melepaskan saham dari usaha rintisan tersebut pada saat startup itu sudah “lulus” inkubasi.

Tindakan yang populer dengan istilah “Exit” adalah ketika pemilik saham melepaskan seluruh sahamnya di usaha rintisan itu. Inkubator, kata teman saya, seharusnya Exit pada kesempatan pertama.

Kenapa? Karena dana yang didapat dari hasil Exit itu akan bisa digunakan untuk rombongan berikutnya yang masuk ke program inkubasi.

Masalahnya, kata saya, tidak semua startup yang tuntas mengikuti inkubasi itu sebenarnya sudah siap untuk berdiri sendiri. Masih banyak yang juga prematur dan butuh bantuan.

Tapi sampai kapan? Lanjutnya. Sampai kapan inkubator harus terus membimbing para startup itu?

Bukan cuma itu, lanjut saya setengah protes, banyak inkubator juga tidak mau startupnya gagal. Bagaimana kalau startup itu kemudian keluar dari inkubator lantas bubar? Bagaimana kalau mereka tidak mampu bersaing di dunia bisnis yang kejam?

Anak panah kehidupan

Sama seperti anak-anak, ujarnya tenang. Jika kita memiliki anak, akan ada waktunya anak itu harus hidup sendiri. Biarkan ia bermain, jika terjatuh dan terluka, ya ia akan sakit. Kita tidak bisa selamanya mengurung anak itu dalam dekapan.

Lagi-lagi, saya teringat penggalan puisi Kahlil Gibran tadi: Engkau adalah busur asal anakmu, anak panah kehidupan, melesat pergi.

Demikianlah peran inkubator, dan mungkin juga founder, menjadi busur tempat melesatnya usaha rintisan. Melaju dengan tepat ke arah sasaran, memecahkan suatu permasalahan yang nyata.

Lalu, kata saya, bagaimana jika suatu hari usaha rintisan itu menjadi sangat besar. Ibaratnya, ia menjadi sebuah Unicorn dengan valuasi gila-gilaan? Lalu apa nasib mereka yang sudah Exit?

Teman saya kembali tersenyum. Orangtua, dari anak-anaknya, hanya bisa berharap apa? Bukankah hanya doa seorang anak yang soleh yang bisa mencapai orangtuanya di alam kubur?

Saya terhenyak. Mungkin memang demikian itu kenyataannya. Bahkan sesuatu yang dirintis dengan “keringat, darah dan air mata” pun bisa suatu hari lepas. Dan kita harus merelakannya.

Diam-diam saya jadi berdoa. Jadikanlah usaha-usaha rintisan ini memiliki manfaat bagi banyak orang, menyelesaikan masalah yang nyata, dan membawa banyak kebaikan. Amin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com