Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lingkaran Setan Situs "Hoax" dan Media Sosial

Kompas.com - 11/01/2017, 07:45 WIB
Tim Cek Fakta

Penulis

KOMPAS.com - Situs penyebar berita palsu alias hoax dan (pengguna) media sosial berhubungan erat dan sama-sama bertanggung jawab atas merajalelanya berita palsu di Indonesia belakangan ini.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengibaratkan relasi keduanya sebagai "lingkaran setan". 

"Antara situs hoax dan media sosial itu seperti vicious circle," kata Rudiantara saat berbicara dalam diskusi News or Hoax di Media Center DPR RI, kompleks parlemen, bilangan Senayan, Jakarta, Selasa (10/1/2017).

"(Pengguna) Media sosial pun sering mengutip situs hoax. Berputar-putar di situ saja," imbuh dia.

Pengelola situs hoax berupaya membuat kontennya menjadi viral alias menyebar luas lewat media sosial. Semakin viral sebuah konten, semakin tinggi pula trafik yang masuk ke situs pembuat hoax, sehingga pada gilirannya meningkatkan potensi pendapatan dari iklan.

Baca: Dua Situs Penyebar "Hoax" di Indonesia

Berapa besar pendapatan yang didapat pembuat situs hoax dengan menyebarkan berita palsu? Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengungkapkan nilainya bisa mencapai kisaran Rp 30 juta per bulan yang terhitung besar apabila pengelolanya hanya berjumlah 1-2 orang.

Apalagi proses produksi konten hoax relatif mudah, cukup dengan mengkopi isi berita di situs media resmi dan memanipulasinya sesuai keinginan. "Mereka ini sering tinggal comot berita saja," kata Stanley yang hadir di acara bersama Rudiantara.

Beberapa waktu lalu, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho bahkan pernah mengungkapkan angka yang lebih besar, mencapai kisaran Rp 58 juta per bulan atau Rp 700 juta per tahun.

Dari sisi pengguna media sosial, penyebaran hoax didorong oleh sikap masyarakat pengguna internet di Indonesia yang kurang kritis menyikapi benar-tidaknya informasi yang beredar di dunia maya.

Baca: Kenapa Orang Indonesia Doyan Sebar "Hoax" di Medsos?

Akibatnya, banyak orang  terpancing meneruskan berita berjudul provokatif yang sengaja dirancang oleh situs hoax, meski isinya belum tentu benar.

Blokir bukan solusi

Dewan Pers mencatat, jumlah situs yang mengklaim diri sebagai portal berita di Indonesia mencapai kisaran 43.000. Dari jumlah tersebut, jumlah yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi hanya berada di kisaran 200-an. Artinya ada puluhan ribu situs yang belum jelas statusnya dan berpotensi menyebarkan hoax.

Baca: Cegah "Hoax", Situs Berita "Online" Akan Ditandai "Barcode"

Kementerian Komunikasi dan Informatika selama ini aktif melakukan pemantauan dan pemblokiran akses ke situs-situs bermuatan negatif, termasuk situs berita hoax. Namun, Rudiantara menegaskan bahwa pemblokiran bukanlah solusi karena situs hoax baru bisa bermunculan setiap saat.

Menurut dia, ketimbang memblokir situs hoax, cara yang lebih efektif adalah dengan mengedukasi masyarakat soal cara mengenali dan menjauhi konten berita palsu. Edukasi akan memutus mata rantai hoax dengan mencegah penerima menyebarluaskan lebih lanjut.

"Pemblokiran itu adalah upaya menyembuhkan orang sakit. Alih-alih fokusnya blokir, lebih baik kita naik ke hulu, menjaga orang agar tetap sehat," kata Rudiantara.

Karena itu, Rudiantara menyambut baik rencana Dewan Pers menyematkan tanda pengenal berupa logo dan QR Code untuk media cetak dan online yang sudah terverifikasi sebagai institusi pers resmi, mulai 9 Februari mendatang.

Ada juga upaya mandiri seperti komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoax yang melancarkan upaya memerangi hoax melalui edukasi, baik secara online maupun offline dengan melakukan pendekatan ke masyarakat.

"Inilah yang harus didorong. Pendekatannya sosialisasi, literasi, dan lain-lain. Dalam membuat kebijakan, justru unsur peran masyarakatnya yang sangat besar," lanjut Rudiantara.

Edukasi anti-hoax ke masyarakat diharapkan juga mampu membendung penyebaran hoax lewat media lain seperti pesan berantai di layanan chatting. Medium semacam ini tidak bisa dicampuri oleh pemerintah karena bersifat privat, bukan publik seperti media sosial dan situs internet.

Baca: Begini Rencana Jerman Berantas Hoax di Media Sosial, Indonesia?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com