Alhasil, Google diklaim mampu mengantongi rata-rata 30 persen lebih dari pendapatan periklanan yang dihasilkan oleh produk teknologi iklan digitalnya.
Menurut DOJ, praktik Google di atas melanggar undang-undang anti-monopoli, sehingga perlu penegakkan hukum "untuk melindungi konsumen, menjaga kompetisi dan memastikan keadilan ekonomi dan peluang untuk semua pihak".
Oleh karena itu, DOJ dan delapan negara bagian termasuk New York, California, Connecticut, dan Virginia meminta pengadilan untuk mendesak Google melepas (divestasi) bisnis periklanannya.
Tahun lalu, Google sendiri sudah berupaya memisahkan bisnis iklan dengan memindahkannya ke divisi khusus, tetapi masih di bawah naungan Alphabet. Sayangnya cara ini tampaknya dinilai belum cukup membuktikan bahwa Google anti-monopoli di mata DOJ.
Baca juga: Bisnis Iklan Seret, Keuntungan Induk Google Turun 27 Persen
Pada Juni 2021, Google pernah didenda gara-gara dinilai memonompoli bisnis iklan online di Eropa. Ketika itu, Google didenda 220 juta euro atau setara dengan Rp 3,8 triliun oleh pengawas persaingan usaha di Perancis (French Competition Authority, FCA).
Sanksi denda yang diterima Google akibat menyalahi persaingan usaha seperti ini, bukanlah yang pertama, melainkan sudah berkali-kali.
BBC menyebutkan, pada 2019 lalu, Google juga sempat didenda sebesar 1,49 miliar euro karena memblokir pengiklan pencarian online. Sementara pada 2018, Google juga menerima rekor sanksi denda sebesar 4,34 miliar euro, karena menggunakan sistem operasi Android untuk memblokir pesaingnya.
Sebelumnya, pada 2017, Google dijatuhi denda 2,42 miliar euro karena menghalangi persaingan usaha dengan rivalnya yang bergerak di situs perbandingan harga belanja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.