Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Gamang Menerapkan Teknologi Telko

Kompas.com - 24/08/2023, 14:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun di frekuensi tinggi (milimeterband) meskipun dijual murah, karena kebutuhan layanan 5G sedikitnya lebar 100 MHz tiap operator, membayangkan besarannya saja operator sudah pusing.

Belum lagi biaya modal (capex – capital expenditure) pada penggelaran 5G yang jauh kebih tinggi dibanding generasi sebelumnya, sampai lebih dari 10X lipatnya.

Namun kenapa India dan China sudah bisa melaju dengan layanan 5G-nya?

China itu negara kaya, mereka bisa memodali operator sesuai kebutuhan, bahkan tidak hanya operator, juga semua industri.

Contohnya Huawei, yang semula hanya sebagai penjaja kotak telepon analog, ketika mulai masuk ke industri telekomunikasi diberi lahan yang luas dan gratis oleh pemerintahnya.

Tidak hanya itu, pemerintah juga membangunkan prasarananya, termasuk pabrik, gedung-gedung perkantoran, jalan-jalan, fasilitas umum dan sebagainya.

Pemerintah China pun, juga di India, memberi kelapangan bebas pajak sampai perusahaan mampu berkarya dengan baik.

Tax holiday

Di Indonesia, industri telekomunikasi dianggap industri “kelas langit” karena uang yang terlibat triliunan rupiah, tidak hanya pada operator dengan pelanggan besar, juga operator berpelanggan sedikit.

Keuntungan mereka triliunan rupiah yang masuk kocek pemilik perusahaan dan pemerintah dalam bentuk dividen dan berbagai pajak.

Karena kelas langit, duitnya pasti banyak, sehingga pemerintah dan banyak pihak berpendapat, industri telekomunikasi (seluler) tidak layak disuntik modal pemerintah.

Akibatnya pemerintah (Kominfo) selalu gamang ketika didesak operator kapan membagikan spektrum frekuensi untuk 5G, bahkan sampai menteri sudah dua kali berganti sejak zaman Rudiantara.

Frekuensi 5G menjadi semacam buah simalakama, diberikan bermasalah, tidak diberikan juga bermasalah.

Kalau saja sesaat mau sabar melupakan rezeki PNBP, pemerintah sebenarnya bisa menerapkan kebijakan tax holiday kepada operator sampai waktu tertentu, baru kemudian memungut kewajiban pembelian harga frekuensinya.

Namun kebijakan ini perlu mendapat persetujuan kementerian lain karena tax holiday jadi domain Kementerian Keuangan. Tidak bisa ditetapkan sendiri oleh Kominfo.

Risikonya pemberian kebijakan bebas pajak itu memang akan membuat kocek PNBP Kominfo melompong.

Walau tetap saja dari sisi BHP dan berbagai biaya pemerintah (government cost) masih akan ada pemasukan yang tidak sedikit.

Menyangkut masalah spektrum frekuensi 700 MHz yang tersedia selebar 112 MHz, tetapi yang akan dibagikan/dijual ke operator hanya 90 MHz.

Tidak perlu bebas pajak sementara, pita selebar itu bisa segera dilelang.

Juga kalaupun sebagian dari lebar rentang itu diberikan begitu saja kepada Telkomsel sebagai ganti diambilnya 4MHz dari 7,5 MHz milik mereka di rentang 900 MHz oleh pemerintah belum lama ini, itu tidak akan jadi masalah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com