Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Eng. Alfian Akbar Gozali
Dosen & Manajer Pengembangan Produk TI Telkom University

Dosen Telkom University, Penulis Buku Kecerdasan Generatif Artifisial

kolom

Kontroversi Starlink: Masa Depan Internet atau Ancaman Baru bagi NKRI?

Kompas.com - 24/06/2024, 06:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH Indonesia, di bawah arahan Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, telah memberikan izin kepada Starlink untuk beroperasi secara instan di Indonesia.

Keputusan ini menimbulkan berbagai polemik dan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan industri lokal.

Luhut mengungkapkan beberapa nilai lebih dari hadirnya Starlink di Indonesia, termasuk menciptakan pasar layanan internet yang lebih kompetitif dan tidak akan memonopoli pasar.

Selain itu, Starlink diharapkan dapat mempermudah akses internet hingga ke pelosok negeri dan pulau-pulau terpencil, serta memudahkan pekerjaan di seluruh Indonesia.

Starlink telah mendapatkan izin operasional secara cepat tanpa perlu melalui prosedur lelang frekuensi yang biasanya diterapkan.

Meskipun Network Operation Center (NOC) belum ada, perangkat Starlink sudah tersedia di berbagai marketplace.

Keistimewaan ini menimbulkan pertanyaan tentang fairness dan transparansi dalam proses pemberian izin.

Dengan menargetkan 10 persen dari 221 juta penduduk Indonesia yang melek internet, Starlink berpotensi meraih keuntungan hingga Rp 220 triliun.

Tarif yang ditawarkan oleh Starlink cukup bervariasi, mulai dari Rp 750.000 per bulan untuk residensial, Rp 990.000 per bulan untuk regional, dan Rp 4,3 juta per bulan untuk global.

Namun, tarif ini lebih mahal dibandingkan dengan layanan fixed broadband dan mobile celluler yang ada di Indonesia.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam memberikan akses kepada perusahaan asing besar seperti Starlink.

Pemerintah perlu memastikan adanya equal playing field dalam berbagai aspek seperti kewajiban pendirian badan usaha, perpajakan, kualitas layanan (QoS), Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), keamanan data, dan kedaulatan.

Meski ancaman bisnis dari Starlink relatif kecil, ada kekhawatiran tentang potensi predatory pricing yang dapat mengancam penyedia layanan lokal.

Biaya perangkat Starlink yang mencapai Rp 7,8 juta juga menjadi tantangan tersendiri, sementara fixed broadband dan mobile celluler tidak memungut biaya perangkat atau menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggan.

Ada lebih dari 400 perusahaan ISP yang tersebar melayani internet di Indonesia. Mereka yang langsung terancam dengan hadirnya Starlink.

Walau ada juga beberapa ISP yang diajak kerja sama oleh Starlink untuk sekadar memenuhi persyaratan izin di sini.

Starlink bukan sekadar perusahaan perangkat dan layanan satelit semata, sebagaimana perusahaan satelit lain.

Starlink juga bisa berfungsi sebagai perusahaan internet service provider, bahkan juga bisa berfungsi sebagai platform digital, mengingat Elon Musk juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter) yang sekarang tak hanya sekadar media sosial, tapi juga mengarah menjadi platform media komunikasi yang berfungsi beragam.

Henry Subiakto, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga dan Wakil Ketua Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menyatakan ketidaksetujuannya dengan izin operasional Starlink di Indonesia.

Ia menekankan kehadiran Starlink dapat mengancam perusahaan nasional dan berpotensi digunakan oleh kelompok separatis.

Starlink dapat melayani langsung ke publik tanpa melalui pihak ketiga, yang mengancam lebih dari 400 ISP di Indonesia.

Selain itu, Starlink dapat berfungsi sebagai platform digital, yang mengancam kedaulatan digital dan keamanan nasional Indonesia.

Data yang dikumpulkan oleh Starlink dilindungi oleh US Cloud Act 2018, sehingga tidak bisa diakses oleh Indonesia, tetapi terbuka untuk pemerintah dan penegak hukum AS.

Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah Starlink akan lebih tunduk pada hukum Indonesia atau Amerika Serikat.

Jika mereka melayani Papua atau daerah konflik lainnya, maka data tersebut bisa diakses oleh intelijen dan pemerintah AS untuk kepentingan politiknya.

Sebaliknya, data-data itu tidak bisa diakses oleh pemerintah Indonesia. Ini mengkhawatirkan, mengingat teknologi serupa digunakan di Ukraina untuk melawan Rusia.

Di situlah mengapa Starlink dapat membahayakan keutuhan NKRI, saat melayani wilayah gunung-gunung dan pedalaman Papua yang mungkin digunakan untuk kepentingan pemberontakan.

Selain kekhawatiran bisnis dan keamanan, ada juga kekhawatiran terkait dampak lingkungan dari jaringan satelit ini.

Studi terbaru menunjukkan bahwa jaringan satelit internet seperti Starlink dapat berkontribusi terhadap penipisan lapisan ozon.

Ketika satelit terbakar di atmosfer, mereka menghasilkan aluminium oksida yang dapat merusak ozon.

Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan oksida meningkat sekitar delapan kali lipat antara tahun 2016 dan 2022, dan efek jangka panjang dari oksida ini dapat bertahan selama beberapa dekade, meningkatkan penipisan ozon secara signifikan.

SpaceX berencana meluncurkan 42.000 satelit Starlink lagi, sementara perusahaan lain juga memiliki rencana serupa, yang dapat memperburuk masalah ini.

Keberadaan Starlink di Indonesia membawa tantangan dan peluang yang harus dikelola dengan hati-hati.

Pemerintah perlu memastikan bahwa pemberian izin dan operasi Starlink tidak merugikan penyedia layanan lokal dan tetap menjaga kedaulatan serta keamanan data negara.

Dengan regulasi tepat dan kerja sama yang baik antara berbagai pihak, diharapkan Starlink dapat memberikan manfaat tanpa menimbulkan dampak negatif yang signifikan.

Melalui langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat memanfaatkan teknologi satelit untuk memperluas akses internet, terutama di daerah terpencil, sambil tetap menjaga ekosistem bisnis yang adil dan berkelanjutan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com