Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Telegram yang Kini Idola Sempat Diblokir Indonesia, Pendirinya Pun Pernah Sambangi Jakarta

Sejumlah pengguna WhatsApp di Indonesia pun menyatakan hal yang sama. "Pindah ke telegram juga ah," twit akun @adjisdoaibu.

Hal senada juga diungkap oleh akun @just_aya9. "Apalagi mulai 8 Feb besok WA harus setor data ke Facebook, fix pindah platform telegram," kicaunya.

Salah satu pembaruan yang membuat pengguna khawatir adalah soal penerusan sejumlah informasi pengguna WhatsApp kepada Facebook, selaku perusahaan induknya.

Telegram dinilai menyediakan layanan perpesanan instan yang lebih aman, khususnya soal perlindungan data pengguna, ketimbang WhatsApp.

Dalam blog resminya, Telegram memang berkomitmen untuk melindungi percakapan pribadi pengguna dari pihak ketiga (pemerintah, perusahaan, dan sebagainya) serta dari para pengiklan.

Oleh karena itu, Telegram tidak berafiliasi kepada perusahaan teknologi mana pun di dunia.

"Kami tidak menggunakan data Anda untuk penargetan iklan, kami tidak menjualnya kepada orang lain, dan kami bukan bagian dari 'keluarga perusahaan' mafia mana pun," tulis Telegram

Sebelum kebanjiran pengguna baru dari Indonesia, ingatkah kamu soal pemblokiran platform Telegram tiga tahun lalu? 

Pendiri sekaligus CEO Telegram, Pavel Durov sampai harus bertandang ke Tanah Air, pada tahun 2017, untuk membahas soal pemblokiran tersebut dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Sempat diblokir selama hampir satu bulan

Layanan pesan instan Telegram versi web pernah diblokir pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Juli 2017.

Pemerintah beralasan, pemblokiran itu dilakukan karena ditemukan banyak banyak kanal yang bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kala itu, Durov mengaku heran dengan pemblokiran yang mendadak dari pihak pemerintah Indonesia itu. "Itu aneh, kami tidak pernah menerima permintaan/komplain dari pemerintah Indonesia. Kami akan menyelidikinya dan membuat sebuah pengumuman," twit Durov, kala itu.

Namun ternyata ada miskomunikasi antara pemerintah Indonesia dengan pihak Telegram. Pemerintah Indonesia mengaku telah memberitahu pihak Telegram sejak lama.

Daftar channel-channel di Telegram yang meyebarkan ajaran teroris dan paham radikalisme sudah diminta untuk diblokir. Namun karena tidak ada tanggapan dari pihak Telegram, pemerintah memutuskan untuk memblokir layanan Telegram, mulai dari level web.

Belakangan, Durov menyadari bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia telah mengirim e-mail kepada dirinya terkait permintaan pemblokiran sejumlah kanal di Telegram sejak 2016.

Atas miskomunikasi ini, Durov selaku CEO Telegram meminta maaf kepada pemerintah Indonesia. Permintaan maaf Durov ini sekaligus membantah klaim sepihak dirinya yang mengaku belum pernah dihubungi oleh pemerintah Indonesia.

Imbas dari diblokirnya layanan web Telegram, Durov menyempatkan diri bertandang ke Indonesia, khususnya untuk bertemu Menteri Kominfo Rudiantara yang menjabat saat itu.

Pertemuan keduanya terjadi pada awal Agustus 2017. Pertemuan tertutup itu sedianya membahas Standard Opereating Procedure (SOP) yang harus diikuti Telegram agar dapat beroperasi di Indonesia.

Dengan demikian, pemblokiran juga dapat dicabut segera mungkin. "Kami mau rapat dulu, rapat persiapan pembuatan SOP, agar kita bisa cepat-cepat kalau sudah selesai semua, bisa kita cabut pemblokiran Telegram," ujar Rudiantara.

Dari hasil pertemuan tersebut, Durov mengungkapkan ada tiga poin solusi berkenaan dengan pemblokiran layanan Telegram di Tanah Air.

Pertama, Telegram harus memblokir semua channel publik yang berhubungan dengan terorisme, sesuai laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Kedua, Pavel telah menghubungi Kemenkominfo via e-mail untuk menjalin komunikasi personal sehingga ke depannya lebih efisien berhubungan terkait pemberantasan konten terorisme.

Ketiga, Telegram membentuk tim moderator khusus yang paham bahasa dan budaya Indonesia. Dengan begitu, laporan-laporan tentang konten berbau terorisme bisa diproses dengan lebih cepat dan akurat.

Permintaan Kominfo dipenuhi, blokir dicabut

Sekitar sembilan hari sejak pertemuan dengan Menkominfo, Telegram telah menghapus 166 channel yang mengandung konten radikalisme dan terorisme di Tanah Air.

Hal ini sesuai permintaan Kemenkominfo. Tak cukup sampai di situ, terhitung sejak 1 Agustus 2017, Telegram menghapus 10 kanal yang mengandung konten negatif setiap harinya di Indonesia. Hal itu dilakukan dengan mekanisme self-censoring.

Berkat komitmen Telegram untuk memenuhi aturan yang berlaku di Indonesia, layanan pesan instan itu bisa beroperasi kembali seperti semula per tanggal 10 Agustus 2017.

Kominfo dan Telegram juga diktahui bersama-sama membuat SOP terkait pemberantasan konten negatif.

SOP itu, kata Rudiantara, meliputi hal-hal detail semacam siapa orang yang harus dihubungi untuk mengadukan konten negatif, bagaimana caranya, seperti apa komunikasinya, dan bagaimana penanggulangannya.

https://tekno.kompas.com/read/2021/01/13/11110017/telegram-yang-kini-idola-sempat-diblokir-indonesia-pendirinya-pun-pernah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke