Musababnya adalah lisensi Android yang dinilai telah mencegah munculnya pesaing baru bagi Android.
Sebenarnya Android sendiri adalah sistem operasi berbasis open source yang dipimpin oleh Google. Dengan kata lain, semua orang bisa mendapatkan sumber kode Android secara bebas, memodifikasi, lalu mendistribusikannya tanpa khawatir soal hak paten.
Meski sumber kodenya bersifat open source, Google ternyata mengharuskan vendor ponsel atau OEM handset yang ingin menggunakan Android (seperti Samsung dan LG) untuk menandatangani perjanjian anti-fragmentasi (AFA).
Perjanjian ini secara khusus memungkinkan vendor ponsel atau OEM handset lainnya bisa mendapatkan akses awal ke sistem operasi serta mendapatkan akses ke Google Play Store.
Keduanya merupakan elemen penting untuk menunjang pengalaman pengguna ketika mengoperasikan handset berbasis Android.
Namun, dalam perjanjian AFA ini, Google melarang OEM untuk memasang Android versi modifikasi, yang tidak secara eksplisit disetujui oleh Google.
Pada 2013, Samsung merilis smartwatch Galaxy Gear pertamanya. Smartwatch ini menjalankan Android 4.3 versi modifikasi.
Namun tak lama kemudian, OS smartwatch Galaxy Gear itu langung diganti dengan Tizen OS garapan Samsung sendiri. Alasannya karena larangan yang sama yang diberlakukan Google, berdasarkan perjanjian anti-fragmentasi tadi.
Perjanjian AFA Google ini juga disebut ikut membatasi peluncuran speaker pintar LG dan smartTV bermerek Amazon pada 2018.
Dinilai menyalahgunakan dominasi pasar
Android memang diketahui sebagai sistem operasi paling populer di dunia. Setidaknya disebutkan ada 80 persen smartphone di dunia yang menjalankan Android. OS ini juga digunakan di aneka perangkat lain dari smartwatch hingga TV pintar.
Dengan kata lain, Google bisa dibilang mendominasi pasar sistem operasi saat ini.
KTFC menilai Google telah menyalahgunakan posisinya yang mendominasi pasar, dengan memaksa para OEM handset untuk menandatangani perjanjian AFA tadi.
Akibat penerapan AFA ini, perilisan berbagai handset yang menggunakan Android modifikasi jadi terbatas. Karena versi modifikasi Android dilarang, KTFC khawatir ini telah mencegah munculnya OS baru pesaing Android.
“Keputusan KTFC sangat berarti karena ini memberikan kesempatan untuk memulihkan persaingan/kompetisi di pasar OS dan aplikasi di masa depan," kata ketua KFTC, Joh Sung-wook dalam sebuah pernyataan yang dilaporkan oleh Reuters.
Google berniat banding
Selain didenda sekitar 2,5 triliun, putusan KTFC juga melarang Google untuk memaksa vendor ponsel atau OEM handset yang ada di Korea Selatan menandatangani perjanjian anti-fragmentasi (AFA). Google juga diharuskan untuk mengubah isi perjanjian AFA itu.
Dalam sebuah pernyataan, juru bicara Google mengatakan kepada CNBC bahwa pihaknya tidak setuju dengan keputusan KTFC.
Google berpendapat bahwa kebijakan Android justru telah memungkinkan produsen dan pengembang ponsel Korea Selatan untuk sukses, dan menciptakan peluang inovasi.
Perusahaan yang bermarkas di Mountain View, California, Amerika Serikat ini juga mengatakan bahwa perjanjian AFA tadi diperlukan untuk memastikan bahwa aplikasi berfungsi di lebih banyak ponsel Android.
"Keputusan KFTC ini mengabaikan benefit ini, dan akan merusak keuntungan yang dinikmati konsumen," kata juru bicara itu, seraya menambahkan bahwa Google berencana untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Selain perjanjian anti-fragmentasi Google regulator Korsel juga menyelidiki dugaan pembatasan persaingan oleh Google di toko aplikasi Play Store, pembelian dalam aplikasi, dan pasar iklan, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari The Verge, Kamis (16/9/2021).
https://tekno.kompas.com/read/2021/09/16/17370027/google-didenda-rp-2-5-triliun-di-korea-selatan-gara-gara-android