Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Indonesia Perlu Perpres "Publisher Rights"?

Perpres "Publisher's Rights" itu merupakan kulminasi dari perjalanan panjang selama lebih dari tiga tahun oleh kelompok kerja keberlanjutan media (media sustainability task force) yang dibentuk oleh Dewan Pers pada Januari 2020, serta pihak-pihak terkait.

Anggota kelompok kerja tersebut adalah para konstituen Dewan Pers, berikut perwakilan asosiasi-asosiasi jurnalis seperti Persatuan Wartawan Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen.

Dalam pengumumannya yang disampaikan di acara peringatan Hari Pers Nasional 2024 di Jakarta, Presiden Joko Widodo mengatakan proses menuju Perpres Publisher's Rights telah melalui perdebatan panjang karena banyak perbedaan pendapat.

Presiden menyatakan telah mendengarkan aspirasi-aspirasi dari kalangan pers sebelum menanda-tanganinya.

"Setelah mulai ada titik kesepahaman, titik temu, ditambah desakan Dewan Pers, perwakilan perusahaan pers dan perwakilan asosiasi media juga mendorong terus, akhirnya kemarin saya meneken Perpres tersebut," ujar Presiden Jokowi.

Kenapa Indonesia perlu Publisher's Rights?

Perpres tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas bertujuan memastikan keberlanjutan industri media nasional Indonesia.

Caranya adalah dengan mewujudkan kerja sama yang lebih adil antara perusahaan pers dengan platform digital seperti Google, Meta (Facebook-Instagram), X (Twitter), TikTok, dan lain-lain.

Untuk mencapai hal itu, Perpres yang juga dikenal lewat istilah "Publisher's Rights" tersebut berfungsi sebagai kerangka hukum yang jelas bagi kerja sama perusahaan pers dan platform digital.

"Pers harus tetap menjadi salah satu pilar demokrasi, pers harus menjadi rumah bersama untuk menjernihkan informasi," sebut Presiden Jokowi dalam pengumumannya.

Sebelumnya, pada peringatan Hari Pers Nasional 2023 tahun lalu di Medan, Sumatera Utara, Presiden Jokowi menggarisbawahi ketimpangan bisnis antara perusahaan pers lokal Indonesia dengan platform digital asing.

Presiden ketika itu menyebutkan bahwa sebagian besar porsi belanja iklan dikuasai oleh platform digital asing sehingga mempengaruhi finansial media lokal Indonesia. Keberlanjutan industrinya pun menghadapi tantangan berat.

Dian Gemiano, CMO KG Media yang ikut terlibat dalam pembahasan mengenai Publisher's Rights di kelompok kerja Dewan Pers, mengemukakan pendapat serupa.

Menurut dia, porsi belanja iklan yang diperoleh institusi-institusi media di Indonesia hanya sekitar 30 persen. Sisanya dikuasai oleh platform digital seperti Google, Meta, dan kawan-kawan.

"Kami tidak menampik bahwa platform global juga memberi kontribusi revenue, tapi yang kami inginkan adalah kesetaraan dan transparansi dalam bisnis, itulah yang kami tuntut lewat Publisher's Rights," ujar pria yang akrab disapa Gemi ini, ketika dihubungi KompasTekno, Kamis (22/2/2024).

Media terlalu bergantung pada Google dkk

Gemi menuturkan, latar belakang di balik pembentukan media sustainability task force yang kemudian berujung pada Perpres Nomor 32 Tahun 2024 adalah kondisi media di Indonesia yang terhimpit oleh disrupsi digital.

Salah satu penyebabnya adalah posisi dominan para penyedia platform digital yang menyebabkan perusahaan-perusahaan media jadi terlalu bergantung untuk distribusi konten dan monetisasi atau model bisnis.

Akibatnya, menurut Gemi, konten berita berkualitas sulit ditemukan karena sering kali bertentangan dengan cara kerja algoritma yang digunakan untuk menampilkan konten di platform digital.

Padahal, seperti yang disebutkan di buletin Etika Dewan Pers edisi Juli 2023, platform digital semestinya mendukung jurnalisme berkualitas dengan tidak memuat konten berita yang tidak sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Hal itulah, lanjut Gemi, yang menjadi tujuan utama dari inisiatif Publisher's Rights, yaitu memastikan keberlanjutan jurnalisme berkualitas.

"Bagaimana caranya platform global dan media bisa bekerja sama agar jurnalisme berkualitas tetap eksis dan dapat diakses oleh publik seluas mungkin," katanya.

Perpres Nomor 32 Tahun 2024 memuat sejumlah ketentuan terkait persoalan ini. Pasal 5 regulasi tersebut menyatakan bahwa platform digital wajib mendukung jurnalisme berkualitas dengan tidak memfasilitasi penyebaran atau komersialisasi konten yang tidak sesuai dengan UU Pers.

Platform digital juga diharuskan mendesain algoritma distribusi berita yang mendukung perwujudan jurnalisme berkualitas sesuai dengan nilai demokrasi, kebhinekaan, dan peraturan perundang-undangan.

Ketika dimintai tanggapan oleh KompasTekno, perwakilan Google Indonesia mengatakan pihaknya masih mempelajari detail peraturan Perpres Nomor 32 Tahun 2024.

"Sangatlah penting untuk produk kami dapat menyajikan berita dan perspektif yang beragam tanpa prasangka dan bias," ujar perwakilan Google Indonesia dalam jawaban tertulis. Adapun TikTok dan Meta belum memberikan respons.

Sebelumnya, pada Februari 2023, ketika Perpres Publisher's Rights masih dalam penggodokan, Google Indonesia sempat mengatakan dapat terhambat dalam menjalankan layanannya secara efektif apabila ada regulasi yang "terlalu mengekang atau berat sebelah".

Sementara, berdasarkan pemberitaan Kompas.id, Meta selaku perusahaan induk Facebook, Instagram, dan WhatsApp pada pertengahan tahun lalu sempat menyatakan keberatan atas kewajiban-kewajiban yang dituangkan dalam draft Perpres Publisher's Rights.

Bukan memusuhi

Perpres Nomor 32 Tahun 2024 turut menyebutkan sejumlah bentuk kerja sama antara platform digital dengan perusahaan media di Indonesia, yakni lisensi berbayar, bagi hasil, berbagi data agregat pengguna berita, dan/ atau bentuk lain yang disepakati.

Gemi mengatakan bahwa bagi hasil alias revenue sharing sebenarnya sudah dijalankan oleh perusahaan-perusahaan media dan para pemilik platform global. Hanya saja, Perpres Publisher's Rights menempatkan kerja sama tersebut dalam ranah hukum yang jelas.

Begitupun dengan berbagi data. Dia mencontohkan media-media online yang menggunakan tool analytics sebenarnya sudah melakukan hal ini, meskipun nanti dalam pelaksanaannya mungkin perlu dibicarakan lagi karena bisa terkait dengan regulasi lain seperti UU Perlindungan Data Pribadi.

Model kerja sama baru yang disebut dalam Perpres tersebut adalah lisensi berbayar atas konten berita. Dasarnya adalah platform global mengumpulkan (crawling) konten dari berbagai sumber, termasuk perusahaan media.

"Karena mereka juga monetize dari situ (konten berita yang dikumpulkan dan disajikan oleh platform global), maka kami minta license," jelas Gemi.

Indonesia tidak sendiri dalam hal ini karena beberapa negara lain telah lebih dulu menerapkan regulasi serupa Perpres Nomor 32 Tahun 2024, misalnya Australia dalam bentuk undang-undang.

Kanada dan Korea Selatan juga mengikuti kebijakan yang sama dengan mewajibkan platform digital membayar konten berita yang diterbitkan di platform mereka.

Berdasarkan laporan Kompas.id, kesepakatan harga atas konten ini dilakukan langsung antara platform dengan perusahaan pers setempat. Jika negosiasi gagal, harga akan ditentukan oleh arbitrator independen.

Selain itu, platform global juga wajib melaporkan perubahan algoritma mereka ke perusahaan pers agar bisa memilah berita seperti apa yang akan diunggah ke platform tersebut.

Terkait algoritma, Gemi mengatakan bahwa ada kemungkinan kendala apabila diatur agar berlaku spesifik untuk wilayah tertentu saja, seperti Indonesia. Karena itu, dia mengatakan perlu dicari jalan tengah yang sama-sama menguntungkan pihak platform global dan perusahaan media.

Gemi mencontohkan Google News Showcase yang merupakan program lisensi konten global. News Showcase mengumpulkan konten jurnalisme berkualitas dari perusahaan-perusahaan media yang berpartisipasi, untuk ditampilkan di produk Google seperti Google News dan Discover.

Konten yang diperoleh lewat News Showcase itu dibeli oleh Google sehingga perusahaan media yang memproduksinya mendapat income. Hanya saja, program tersebut belum bergulir di Indonesia.

"Solusi-solusi semacam ini yang mesti kita dorong dan cari. Jalan tengah yang saling menguntungkan," ujar Gemi. "(Publisher's rights) tujuannya bukan memusuhi platform, melainkan mengajak kerja sama."

Masalah fundamental media

Regulasi yang dituangkan dalam Perpres Nomor 32 Tahun 2024 sebenarnya belum menjawab masalah fundamental dari keberlangsungan industri pers, yakni ketergantungan terhadap platform digital asing, di samping disrupsi digital.

Karena itu, menurut Gemi, perusahaan-perusahaan media sebenarnya harus memikirkan cara mengurangi ketergantungan terhadap platform digital secara jangka panjang sehingga bisa lebih mandiri dalam hal distribusi konten dan monetisasi atau model bisnis.

"Apakah mungkin harus punya platform sendiri atau jaringan konten dan advertising, itulah yang harus dibicarakan," ujar dia.

Perpres Nomor 32 Tahun 2024 baru akan berlaku efektif 6 bulan setelah diundangkan. Dalam jangka waktu itu, Perpres mengamanatkan pembentukan komite yang bertugas memastikan pemenuhan kewajiban platform global sebagaimana tertuang dalam regulasi tersebut.

Keanggotaan komite, menurut keterangan di laman Setkab, terdiri atas perwakilan dari unsur Dewan Pers yang tidak mewakili perusahaan pers, kementerian di bidang komunikasi dan informatika, serta pakar di platform global yang tidak terafiliasi dengan perusahaan platform maupun perusahaan pers.

Gemi berharap pembentukan komite tersebut akan membantu dalam mencari jalan tengah yang saling menguntungkan dalam kerja sama, sehingga memastikan keberlangsungan jurnalisme berkualitas.

Meskipun belum menjawab masalah fundamental yang dihadapi industri media, menurut Gemi Perpres Publisher's Rights sudah memberikan landasan hukum yang pasti agar pers dan platform digital bisa duduk bekerja sama dalam posisi yang setara.

"Ini jadi titik awal untuk policy maker, agar nantinya bisa membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan semua stakeholders, terutama usaha-usaha lokal," pungkasnya.

https://tekno.kompas.com/read/2024/02/22/09000027/mengapa-indonesia-perlu-perpres-publisher-rights-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke