Dalam suatu wawancara yang cemerlang, Munir bertutur dengan jernih, ”Islam tak menyuruh [kita] memerangi agama lain, tetapi memerangi suatu model penindasan dan penciptaan pemiskinan secara tak sah. Itu saya kira satu hal penting untuk menjadi landasan Islam; membangun masyarakat dan peradaban.” Dan alangkah orisinal-menggetarkan ketika dia menambahkan bahwa "Ketika saya berani shalat, konsekuensinya saya harus berani memihak yang miskin dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban, sebab saya telah menghadapkan wajahku” (wawancara Munir dengan Ulil Abshar-Abdalla, Radio 68H, 1 Agustus 2002).
Maka, Munir pun adalah penjunjung teladan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sebagai penjunjung sila kedua dan sila kelima, dia
Munir memang sudah menjadi tulang-belulang, sudah mengerangka. Akan tetapi, dia mengerangka dalam suatu kerangka yang cemerlang. Maka, negara-bangsa tercinta ini—dengan segenap warga dan aparatnya—wajib menegaskan Munir di dalam kerangka itu: wajib memberinya keadilan dan kehormatan yang memang sangat pantas dia terima.