Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Munir dalam Kerangka Keindonesiaan

Kompas.com - 22/09/2011, 01:59 WIB

Pasti kita bisa menarik benang merah antara sosok perjuangan Munir dan falsafah bangsa kita. Seingat saya, Munir tak pernah menghiasi wicara ataupun pernyataan-pernyataannya dengan menyitir Pancasila. Toh, siapa pun yang bisa menyimak dengan jernih akan sulit membantah kenyataan bahwa dia adalah salah seorang pengejawantah paling setia dan paling kukuh dari sebagian besar sila di dalamnya.

Tak berlebihan jika dikatakan Munir adalah personifikasi setidak-tidaknya dari tiga sila Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Munir adalah pembela rakyat dari kesewenang-wenangan negara. Lebih penting lagi, dia memberikan personifikasi yang terpadu dari Pancasila dengan tidak melecehkan kedua sila lainnya.

Adalah hak paling dasar suatu bangsa dan tiap warga negara untuk merdeka berada dan berkiprah. Itulah yang ia perjuangkan demi saudara-saudara kita di Aceh, Papua, Timor Timur, dan daerah-daerah lain, termasuk bagi setiap individu atau kelompok yang mengadu atau bersandar kepada dirinya. Sebagai pejuang, Munir bersih dari pamrih atau ambisi pribadi di luar penegakan keadilan dan kebenaran.

Perjuangan Munir konsisten, intens, dan maraton sejak awal 1990-an hingga 5-6 tahun pada era reformasi. Di situlah Munir mempertaruhkan jiwa raga sebagai pahlawan kemerdekaan bagi warga negara yang masih terus ditindas atau dipersekusi oleh kekuasaan yang sewenang-wenang. Terutama untuk urusan hak rakyat/warga negara akan kemerdekaan dan kebebasan itulah dia memimpin Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Di jalur ini pula dia menemui ajal.

Pengamal sejati Pancasila

Munir jelas berbeda dibandingkan dengan banyak alat atau aparat negara, terutama semasa Orde Baru, yang menyuperiorkan sila Persatuan Indonesia sedemikian rupa sehingga dari waktu ke waktu begitu gampang menginjak-injak sila-sila lainnya. Beda dengan para penguasa Orde Baru sebagai reduksionis terparah dari Pancasila, rekam jejak perjuangan Munir jelas memancarkan pesan bahwa sila Persatuan Indonesia hanya berharga jika kelima sila Pancasila dijunjung setara.

Munir seperti selalu meneriakkan pemahaman, khususnya di hadapan para penguasa Orde Baru: Pancasila haruslah benar-benar diterima seperti bunyi harfiah dan menurut keseluruhan kandungan idiil/historisnya agar bukan sekadar penghias wacana demi menyembunyikan kekuasaan serakah dan angkara.

Kita tahu, di bawah Orde Baru, Pancasila disimpulkan melulu sebagai ”alat pemersatu”, yang tiada henti menginjak-injak sila kedua, keempat, dan kelima—ketiga sila yang konsisten diperjuangkan Munir. Itulah yang, misalnya, tersirat pada rilis resmi TNI AD perihal ”Wawasan Kebangsaan” di internet. Di situ yang jelas diutamakan adalah sila Persatuan Indonesia dan/atau keniscayaan NKRI tanpa memberikan kesetaraan penjunjungan kepada keempat sila lainnya.

Seperti menafikan deretan panjang penindasan dan pembantaian rakyat di bawah Orde Baru, pada rilis tersebut, kita kembali membaca slogan ”kemanunggalan TNI dengan rakyat”. Di situ dilontarkan tuduhan kepada para aktivis LSM sebagai penjual Tanah Air tanpa mempersoalkan siapakah penjual terbesar Tanah Air kita sejak awal Orde Baru hingga kini. Di situ dipertentangkan juga ”nilai-nilai universal” dengan ”nilai-nilai nasional”, padahal Pancasila adalah sublimasi dan kristalisasi pengalaman penjajahan teramat kelam dari bangsa kita justru ke dalam nilai-nilai universal (lihat Webmaster: Dispenad, 2003). Rilis itu dipasang di internet setahun sebelum Munir dibunuh.

Terlepas dari ketaatan melaksanakan tuntutan agama yang dia anut, Munir sepenuhnya bersih dari primordialisme atau sektarianisme, apalagi motif keserakahan. Tak banyak yang mencatat Munir berkiprah dengan suatu iman transendental yang tak hanya lurus, tetapi juga kukuh. Lantaran itu pula, sosok perjuangannya kian bersinar dan klop dengan segenap kebajikan politik perenial, di mana jati diri Indonesia terangkum.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com