Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
TERORISME

Bom Boston Tidak Pernah Memadamkan Semangat

Kompas.com - 17/04/2013, 03:21 WIB

Anton Sanjoyo

Tidak masalah, saya akan tetap berlari sampai kapan pun. — Bill Iffrig

Jika tujuan terorisme adalah menebarkan ketakutan, mereka cukup berhasil di Boston. Namun, tidak bagi Bill Iffrig yang bertekad tetap berlari maraton setelah mengalami hari paling mengerikan dalam hidupnya, Senin (15/4).

Bagi penggila lari maraton seperti Iffrig, Senin lalu adalah hari yang indah untuk berlomba di Maraton Boston yang melegenda. Menjelang siang, cuaca cerah dan langit biru. Dengan matahari yang bersinar lembut dan belaian embusan angin sepoi, lomba maraton tahunan tertua ini benar-benar sempurna.

Sekitar 4 jam berlari dan menempuh jarak 42 kilometer, Iffrig hanya 3 meter lagi untuk menyentuh garis finis. Tiba-tiba pelari berusia 78 tahun itu tersungkur ke aspal akibat gelombang ledakan yang hanya berjarak 1,5 meter darinya. ”Suaranya sangat keras. Kaki saya lemas lunglai,” ujar Iffrig yang kemudian bangun, berdiri, dan menyelesaikan 3 meternya yang tersisa.

Tak jauh dari Iffrig terjatuh, seorang bocah berusia 8 tahun bernama Martin Richard tersungkur bersimbah darah. Bersama ibu dan dua saudaranya, Martin ingin melihat sang ayah, William, menjejakkan kakinya di garis finis. Namun, sebelum kebahagiaan itu datang, maut menjemputnya.

Si bocah Martin adalah satu dari beberapa korban tewas dalam serangan teroris yang untuk kesekian kalinya menggelarkan lembaran hitam bagi dunia olahraga. Sang ibu dan seorang saudaranya yang terluka parah juga menjadi bagian dari tragedi yang membuat sekitar 150 orang harus dirawat di rumah sakit. Sampai semalam, belasan orang berjuang melawan maut dalam kondisi kritis.

Dalam setiap tragedi serangan teroris yang mematikan, kita selalu gundah dan bertanya, mengapa ada sekelompok orang sampai hati berbuat kejam terhadap sesamanya? Atas nama apa pun, perbuatan keji seperti ini tak punya tempat pembenaran.

Beberapa hari sebelum korban jatuh di Boston, sejumlah serangan bom juga mengguncang sendi-sendi kemanusiaan. Di Somalia, Irak, Afganistan, dan Suriah, puluhan orang tewas akibat serangan bom, buntut dari perseteruan politik, suku, agama, keyakinan, dan ideologi.

Namun, di Boston, getarnya memang berbeda. Ini lebih karena teror menebar dengan keji pada sebuah ajang olahraga yang menjadi simbol kebebasan dari aktivitas manusia. ”Serangan itu menghantam langsung ke inti pencapaian dan kebajikan manusia,” ujar Lamine Diack, Presiden Federasi Atletik Internasional (IAAF).

Di Boston, Senin lalu merupakan perayaan Hari Patriot untuk mengenang para pahlawan yang berjuang dalam Revolusi Amerika. Ribuan orang berkumpul di sekitar Fenway Park untuk mengelu-elukan pahlawan modern mereka, para pelari maraton.

Bagi anak-anak kota Boston, hari itu adalah hari kegembiraan saat mereka tak perlu pergi ke sekolah untuk mengawali libur musim semi. Sementara bagi 23.000 pelari, baik atlet sungguhan maupun penggembira, ini merupakan ujian ideal bagi ketahanan tubuh dan semangat setelah berbulan-bulan berlatih.

Pada setiap ajang Maraton Boston, kota ini juga berubah menjadi desa yang ramah ketika seluruh warga memberikan salam serta menyediakan roti dan minuman gratis kepada para pelari, yang sebagian adalah orang asing yang mungkin tak akan mereka temui lagi.

Namun, kebahagiaan itu direnggut begitu saja. Meredith Sailant masih diliputi kegembiraan tak terkira seusai menyelesaikan lomba. ”Saya masih bercanda ria dengan sejumlah teman setelah melewati lomba yang hebat ini. Dan, ketika keluar hotel, semua kebahagiaan itu berakhir,” ujar Sailant yang tinggal di wilayah Brookline.

Apa yang dialami warga kota Boston, pengalaman mengerikan Iffrig dan Sailant, serta nyawa yang direnggut dari si bocah Martin seperti sejarah pahit yang berulang bagi dunia olahraga. Dunia mencatat, puluhan nyawa melayang sejak aksi teroris ”Black September” pada ajang Olimpiade Muenchen tahun 1972 hingga serangan senjata api terhadap bus yang dinaiki tim kriket Sri Lanka pada Maret 2009.

Khusus dunia atletik, serangan teroris paling getir terjadi pada Maraton Sri Lanka, April 2008. Serangan bom bunuh diri teroris Macan Tamil menewaskan 15 orang, termasuk Menteri Jalan Raya Jeyaraj Fernandopulle.

Bagi dunia olahraga, aksi teror juga membuat sejumlah ajang batal digelar. Ketakutan yang ditebar menciutkan nyali atlet dan pengelola, seperti pada ajang Reli Dakar tahun 2008 setelah mendapatkan ancaman dari kelompok teroris Al Qaeda.

Namun, kali ini dunia olahraga menolak menyerah pada aksi terorisme. Seperti Iffrig yang tetap bertekad terus berlari, demikian juga dunia lari maraton.

Beberapa jam setelah tragedi Boston, pengelola Maraton London menyatakan lomba tetap sesuai rencana. Diikuti 35.000 pelari, Maraton London akan digelar hari Minggu mendatang. Sejumlah lomba maraton di Jepang dan Afrika Selatan juga tetap diadakan sesuai jadwal.

Teror paling mematikan sekalipun tak akan pernah memadamkan semangat mereka.(AFP/BBC/Reuters)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com