Awal pekan ini, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengirimkan surat permohonan pemblokiran dua layanan transportasi berbasis aplikasi tersebut kepada Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara.
Hal ini bukan pertama kali terjadi. Akhir tahun 2015, Jonan pernah mengeluarkan surat pemberitahuan yang turut menyinggung layanan ojek online, tapi waktu itu tak terjadi pemblokiran.
Sama-sama untung di China
Kisruh layanan ride-sharing semacam Uber dkk sejatinya bukan cuma terjadi di Indonesia. Bahkan, di Amerika Serikat yang notabene negara asal Uber, pro kontra masih mengalir deras.
Hal tersebut tak lain karena pengembangan teknologi untuk sektor transportasi tersebut belum dibarengi regulasi yang mumpuni. Sejauh ini, baru Meksiko dan Filipina yang sudah merumuskan aturan khusus untuk ride-sharing.
Selanjutnya, China pun hendak mengikuti langkah tersebut sebagaimana dilansir KompasTekno, Rabu (16/3/2016) dari Mashable.
"Dengan prosedur tertentu, mobil pribadi diizinkan beroperasi sebagai layanan transportasi," kata Menteri Perhubungan China Yang Chuantang.
Menurut Chuantang, pemerintah enggan melakukan pemblokiran karena layanan ride-sharing dianggap membantu masyarakat. Pertumbuhan angka pemakaiannya pun signifikan.
Saat ini, Didi Kuaidi yang merupakan layanan lokal serupa Uber meraup 87,2 persen pasar ride-sharing. Sisanya sekitar 12,3 persen adalah pasarnya Uber.
Daripada memblokir, pemerintah China memilih upaya lain, yakni menaungi kepentingan perusahaan taksi tradisional dan layanan ride-sharing agar sama-sama untung (win-win solution).
Salah satu rumusan kebijakannya akan membatasi armada layanan ride-sharing (Didi Kuadi dan Uber), maupun taksi konvensional. Porsi pembatasan akan dibicarakan lebih lanjut bersama beberapa pihak bersangkutan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.