Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Gampang Masuk Perangkap, Kita Manusia atau Tikus?

Kompas.com - 08/08/2016, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorDeliusno

Perangkap tikus, konon, adalah satu-satunya alat yang tidak lagi membutuhkan inovasi. Ini karena tikus mudah sekali ditangkap akibat kebiasaan mereka melewati jalur yang sama berulang-ulang. Setelah tahu jalurnya, manusia cukup pasang perangkap di jalur itu untuk menangkapnya.  

Manusia, kadang bisa bernasib seperti tikus itu pula. Karena kebiasaan yang berulang-ulang, mudah pula terjebak dalam perangkap. Bukan perangkap fisik yang memenjarakan tubuh, tapi sebuah perangkap yang lebih berbahaya: perangkap pikiran dan wawasan.

Waduh, kok tiba-tiba jadi berat sekali dan terasa seperti mau dihakimi? Sebelum semuanya kabur, baiklah, mari kita simak dulu sebuah cerita yang mungkin bisa lebih enak untuk diikuti daripada ceramah nan menggurui.

Kisah Si Joni

Seorang teman, sebut saja Joni, senang sekali menulis. Kegemarannya menulis ini jelas dipuji-puji banyak pihak, karena menulis adalah perbuatan terpuji. Ya kan? Kalau tidak, buat apa juga saya menghabiskan minggu siang ini untuk menulis dan bukan ngopi atau bermain bersama anak?

Intinya, Joni semakin rajin menulis lewat blog pribadinya dan semakin banyak yang memuji. Semakin yakin pada tulisannya, Joni ingin agar semakin banyak yang membaca. Maka ia sebarluaskan tulisannya lewat jejaring sosial, media sosial dan media-media lain yang bisa ia gunakan.

Setiap klik ‘Like’, setiap ‘Share’ dan setiap komentar jadi bahan bakar untuknya. Bahan bakar yang menjaga api semangat dalam dirinya untuk menulis terus dan terus.

Beberapa tulisannya, tentang topik tertentu, lebih banyak dapat ‘Like’, ‘Share’ dan komentar dari tulisan yang lain. Maka ia semakin sering menulis tentang topik itu. Semakin banyak ia menulis tentang hal itu, semakin banyak Like, Share, dan komentar. Begitu terus, seperti pusaran yang terus menguatkan.

“Wow,” suatu hari Joni berkata kepada saya, “aku sekarang sudah punya 2.000 follower lebih!”

“Hebat Joon. Udah jadi seleb nih?” celetuk saya.

Tapi dia tidak sempat membalas chat itu. Bahkan, itu jadi chat terakhirnya dengan saya. Kini Joni sibuk membuat tulisan di media sosial, sibuk berkomentar, sibuk menjaring Like dan Share dan Like dan Share dan Like dan Share dan seterusnya.

Joni, oh Joni...

Kebetulan Joni memang suka sekali menulis tentang sesuatu. Demi memberi sedikit pegangan dari sekadar ngawang dengan istilah ‘topik tertentu’ anggap saja Joni senang menulis tentang enaknya daging sapi.

Masalahnya, bukan hanya daging sapi itu daging paling enak menurut Joni, ia juga menganggap bahwa satu-satunya daging yang harus dikonsumsi oleh semua manusia di seluruh dunia hanyalah daging sapi. Lupakan ayam, ikan apalagi … telur!

Joni rupanya tidak sendiri. Ada banyak sekali penggemar sapi di internet. Mereka giat berseru: hanya sapi untuk kami, makan sapi sampai mati!

Tidak berhenti di situ, mereka sibuk sekali meyakinkan orang lain untuk hanya makan sapi. Bahkan, kadang inipun sudah terlalu ekstrim untuk Si Joni, mereka mengatakan tidak perlu lagi makan nasi!

Seorang teman, yang lain tapi juga bernama Joni, berkata pada saya: “Kenapa sih, sekarang orang-orang keras sekali membela daging sapi? Kan masih ada ayam, ikan atau… kambing!” ujarnya.

“Begini Jim (saya memanggilnya Jim supaya tidak tertukar dengan Si Joni tadi), sebenarnya kan orang bebas saja mau makan daging sapi, ayam, ikan atau… kuda! Tapi, mungkin Joni ini memang suka sekali sapi dan ia percaya, sapi-lah satu-satunya,” ujar saya berusaha mengutip lagu Dewa 19.

“Tapi kan sudah jelas. Apa yang Joni sampaikan soal sapi itu salah. Dan ia mati-matian, menyebarkan berita palsu soal ayam, ikan dan… kalkun! Hanya untuk menguatkan posisi sapi,” kata Jim yang juga Joni itu.

Nah, pertanyaannya apa yang membuat Joni menjadi seleb di kalangan penggemar sapi? Dan, kenapa semua penggemar sapi seakan-akan tidak bisa melihat hal lain?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com