Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Tarik-menarik Tarif Interkoneksi

Kompas.com - 01/01/2017, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

DARI tiga kebijakan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tahun 2016 yang kembali mentah, interkoneksi diharapkan akan selesai pada awal Februari mendatang, setelah ditunda tiga bulan akibat ditolak Grup PT Telkom (Telkomsel), sementara operator lain setuju.

Dari operator tersisa, PT Indosat dan PT XL Axiata terang-terangan menyetujui kebijakan menteri, sementara 3 operator lain, PT Smartfren, PT HTI (Hutchison Tri Indonesia - 3) dan Sampoerna Telecom menyetujui secara diam-diam (silent operator). 

Semester kedua 2016, Menteri Kominfo Rudiantara mengeluarkan surat edaran yang menurunkan tarif interkoneksi 18,4 persen dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit.

Telkomsel menolak karena berdasarkan acuan kesepakatan tarif berbasis biaya, besaran DPI (dokumen penawaran interkoneksi) adalah sebesar Rp 285/menit, naik 14 persen dari tarif lama.

Sementara operator lain menganggap tarif interkoneksi cukup Rp 120/menit, bahkan ada yang bersedia jika tarif ditetapkan hanya Rp 100/menit.

Interkoneksi adalah ketersambungan hubungan pelanggan antaroperator (off net), yang besarannya ditetapkan berdasarkan penghitungan pengembalian biaya (cost recovery) pembangunan jaringan, sesuai Peraturan Menteri Kominfo Tahun 2014. Setiap panggilan antaroperator selalu menggunakan setengah jaringan operator asal dan setengah jaringan operator tujuan, sehingga operator asal wajib memberi bagian pendapatan kepada operator tujuan.

Selain biaya interkoneksi, operator asal juga memungut tarif off net yang penetapan besarannya sesuka-suka operator sehingga bisa berbeda, paling rendah Rp 900/menit sampai Rp 1.500/menit. Di kalangan operator, tarif off net ini dibuat besar untuk memberi gambaran ke pelanggan bahwa panggilan antaroperator itu jauh lebih mahal dibanding panggilan antarpelanggan (on net) dan makin besar tarif off net, makin besar pula pendapatan operator.

Dalam komponen pendapatan operator, interkoneksi tidak bisa dimasukkan sebagai pendapatan karena bisa saja tekor kalau panggilan masuk lebih sedikit dibanding panggilan keluar. Dan pada umumnya pemilik pelanggan terbesar selalu mendapat bagian surplus dari pos intekoneksi.

Laba terbesar

Telkomsel mengajukan biaya lebih besar karena menurut hitungan, mereka sudah mengeluarkan biaya jauh lebih besar untuk penggelaran jaringan ke seluruh pelosok Indonesia. Beda dengan operator lain yang hanya membangun di Pulau Jawa dan di kota-kota-kota besar pulau-pulau lainnya.

Tarif interkoneksi yang rendah berpotensi merugikan Telkomsel yang ujung-ujungnya merugikan Negara karena Telkomsel – lewat induknya, PT Telkom – merupakan penyumbang dividen dan berbagai pajak terbesar di antara sesama BUMN. Walaupun catatan menyebutkan, pembagian keuntungan Telkomsel ke Singtel, pemegang 35 persen saham PT Telkomsel, masih lebih besar dibanding dividen yang Telkom serahkan kepada Negara.

Sebelum mengundurkan pembicaraan soal tarif interkoneksi hingga bulan Februari, BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) pernah menolak DPI yang diajukan oleh Telkomsel, karena dianggap besaran itu tidak membuat industri lebih efisien.

Apalagi, menurut keterangan, dalam laporan keuangan Telkomsel tahun 2015 tertulis ARPM (average revenue per minute – rata-rata pendapatan per menit) Rp 162, jauh lebih rendah dibanding DPI.

Laporan tadi menyebutkan juga, dari pendapatan tahun 2015 sebesar Rp 76,055 triliun, Telkomsel meraih laba Rp 22,36 triliun, naik 15,34 persen dari tahun 2014 yang Rp 66,25 triliun dan laba sebesar Rp 19,39 triliun. Ini merupakan raihan laba terbesar di industri, lebih dari 29 persen, yang belum ada tandingannya.

Sebagai perbandingan, Telkomsel mempunyai 163 juta pelanggan, Indosat 80,5 juta pelanggan, dan XL Axiata sebanyak 45 juta pelanggan lebih. Pendapatan Indosat hampir sama dengan pendapatan XL Axiata sekitaran Rp 22 trilun, tetapi yang satu dapat laba Rp 1 triliun yang lain menderita rugi.

Layanan 2G boros

Pendapatan dari interkoneksi tidak akan bertahan lama, karena seluler generasi kedua (2G) yang hanya memberi layanan suara dan SMS segera ditinggalkan, pelanggannya diarahkan pindah langsung ke 4G tanpa lewat 3G yang akan pupus dalam dua tahun. Masalahnya, seperti operator lain umumnya, pelanggan 2G PT Telkomsel mencapai sekitar 65 persen atau 106 jutaan, sehingga tidak mudah memindahkan mereka dalam waktu singkat selain ada potensi penurunan pendapatan.

Pemerintah ingin layanan 2G diputus karena sangat boros frekuensi dan menduduki spektrum 900 MHz dan 1800 MHz yang kini sudah digunakan untuk layanan 4G LTE (long term evolution).

Operator yang hanya memiliki kurang dari 20 MHz di spektrum 1800 MHz tidak akan dapat memberi layanan 4G LTE secara optimal tanpa mengganggu pelanggan 2G.

Jika generasi empat setengah (4,5G) akan diluncurkan tahun 2018, ketika dengan 200 MHz lewat 4T4R pelanggan bisa mengakses data sampai 300 mega bit per detik (mbps) dibanding sekarang yang maksimal 42 mbps, layanan 2G harus benar-benar hilang.

Dengan teknologi trasmit (T) dan receive (R) yang berpasangan makin banyak tidak hanya 4T4R tapi bisa 16T16R dengan teknologi QAM (quadruple amplitude modulation), bukan tidak mungkin pelanggan bisa dapat mengakses data sampai 1.000 mbps.

Secara hitungan di atas kertas akses layanan 4,5G akan membuat kocek operator makin tebal. Masalahnya lagi, operator tidak akan mungkin menjual layanan berbasis pulsa seperti sekarang, karena yang dijual paket data dengan bonus suara.

Paket data di Indonesia termurah, dengan Rp 50.000 bisa didapat data 2 Giga sementara misalnya di China beli paket Rp 100.000 hanya dapat data satu Giga. Daya beli masyarakat yang masih rendah membuat voucher pulsa 2G paling laku justru Rp 10.000 dan Rp 20.000 sehingga penjualan paket data sampai saat ini belum menggembirakan selain jaringan 4G juga masih terbatas hanya di kota-kota besar.

Operator perlu mencari trik-trik jitu selain edukasi yang terus-menerus kalau ingin masyarakat dengan sukarela migrasi dari 2G dan 3G ke 4G LTE. Namun lebih dari separuh pelanggan 2G menyatakan nyaman di layanan suara dan SMS saja selain berat jika harus menaikkan biaya komunikasinya karena harus membeli paket data yang tidak murah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com