Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Tiga Operator 5G, Tiga Teknologi Beda

Kompas.com - 02/07/2021, 16:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Untuk layanan 5G, XL Axiata akan menggunakan spektrum 1800 MHz untuk DSS dan 2100 MHz untuk jangkar (anchor) 4G LTE. XL Axiata sudah membuktikan kemampuan 5G dengan teknologi ini pada uji coba Desember lalu.

Operator, dengan demikian, akan maksimal memberi layanan 5G jika pemerintah sudah merilis spektrum yang paling optimal dalam implementasi 5G, yang mampu memenuhi kebutuhan akan cakupan dan kapasitas. Spektrum midband seperti 3,5 GHz adalah salah satu pita spektrum yang optimal utk 5G.

Dengan jangkauan yang hampir sama dengan jangkauan spektrum LTE saat ini (2100 MHz dan 1800MHz) dan pita yang cukup lebar, spektrum ini dapat memenuhi kebutuhan coverage dan kapasitas sekaligus.

Biaya sosial tinggi

Operator juga berharap pemerintah bisa merilis spektrum 2600 MHz yang selebar 190 MHz, selebar 150 MHz di antaranya masih dikuasai satu kelompok penyiaran televisi analog, yang izinnya baru habis pada 2025.

Tahun ini kemungkinan pemerintah akan melelang atau menggunakan cara beauty contest untuk beberapa spektrum, 700 MHz selebar 90 MHz, 26 GHz dan 35 GHz selebar masing-masing 1000 MHz.

Namun investasi yang tinggi untuk milimeterband di spektrum di atas 6 GHz, akan membuat belum tentu operator papan tengah mau ikut lelang.

Investasi operator untuk layanan 5G saat ini cukup tinggi, jika masing-masing tetap membangun jaringan sendiri, BTS sendiri, serat optik (FO –fiber optic) dibangun masing-masing.

Melayani 5G tidak mungkin terlepas dari kewajiban membangun jaringan FO, yang akan masuk menyusup ke kawasan-kawasan ekonomi yang padat. Seperti kawasan industri, perkantoran dan sebagainya, selain jaringan angkutan perkotaan, perkebunan dan peternakan.

Biaya investasi (capex – capital expenditure) sebenarnya bisa ditekan kalau semua operator mau saling terbuka. Biaya sosial akan bisa murah kalau, misalnya, Telkom yang punya jaringan FO lebih dari 100.000 kilometer panjangnya, menyewakan sebagian kapasitas FO-nya.

Di satu kawasan yang hanya ada FO milik XL Axiata, atau milik Smartfren/Moratel, operator lain tidak usah membangun, cukup menyewa.

Apalagi, di kawasan perkotaan padat bisnis, keharusan membangun BTS yang jarak antaranya tidak sampai 200 meter bisa digantikan dengan jaringan FO yang sekaligus bisa berfungsi sebagai BTS.

Arogansi superior, ditambah kekhawatiran si penyewa akan lebih unggul, membuat pemilik infrastruktur berupa BTS dan FO enggan menyewakan fasilitasnya.

Tetapi konsolidasi, tidak harus merger, menjadi sebuah kesempatan untuk mengefisienkan layanan telekomunikasi yang sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. (*Moch S Hendrowijono, Pengamat Telekomunikasi)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com