Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng, CISA, ATD
Dosen STEI ITB & Founder Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Indonesia

Dimitri Mahayana adalah pakar teknologi informasi komunikasi/TIK dari Bandung. Lulusan Waseda University, Jepang dan ITB. Mengabdi sebagai Dosen di STEI ITB sejak puluhan tahun silam. Juga, meneliti dan berbagi visi dunia TIK kepada ribuan profesional TIK dari ratusan BUMN dan Swasta sejak hampir 20 tahun lalu.

Bisa dihubungi di dmahayana@stei.itb.ac.id atau info@sharingvision.com

kolom

Tren dan Isu 2023 "Cloud Computing" di Indonesia

Kompas.com - 10/04/2023, 08:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SENTILAN Menneg BUMN Erick Thohir sempat dilontarkan ke salah satu BUMN tahun 2020 lalu, manakala dirinya menjabat Ketua Panitia Asia Games 2018 lalu, harus menggunakan layanan komputasi awan (cloud computing) dari luar negeri.

Hal ini tak berlebihan jika melihat data eksisting akan betapa besarnya kebutuhan industri Indonesia.

Pertama, data dari firma riset global IDC tahun 2022 menunjukkan, 81 persen responden dari Indonesia berencana meningkatkan pemanfaatan cloud tahun 2023, meski kondisi ekonomi sedang melambat.

Apalagi pengalaman pandemi kemarin membuktikan, cloud computing dapat diandalkan menghadapi kondisi tidak menentu yang terjadi.

Perusahaan cenderung memilih public cloud (komputasi awan bersama untuk publik) dibandingkan on-premise (membangun dan mengendalikan sendiri infrastruktur TIK) dalam modernisasi infrastruktur digital mereka dengan alasan kelincahan.

Hal ini kaitannya dengan fokus perusahaan dalam koneksi kecepatan ke pasar (time to market) yang tidak leluasa jika harus investasi modal kerja seperti dibutuhkan pada skema on-premise.

Kedua, analisis Global Data’s Market Opportunity Forecasts Model (2022) menunjukkan, nilai pasar untuk public cloud, yakni SaaS (Software as a Service), PaaS (Platform as a Service), dan IaaS (Infsratructure as a Service) di Indonesia diperkirakan meningkat 3,3 persen dalam periode 2019-2020.

IaaS adalah sumber daya komputasi yang mampu mengakses dan memantau kinerja komputer, platform penyimpanan, jaringan, dan lain-lain.

Sementara SaaS dan PaaS hampir sejenis, yakni sistem yang menyediakan kerangka kerja memanfaatkan internet untuk mengirimkan aplikasi yang dikelola oleh vendor pihak ketiga kepada para penggunanya.

SaaS dinilai menjadi segmen pasar terbesar karena segmen ini mengalami kecepatan stabil di tengah banyak perusahaan yang memanfaatkan SaaS guna kebutuhan proses DevOps (operasi dan pengembangan yang lebih efisien).

Ketiga, lembaga riset global, Gartner (2022) menyebutkan, pendapatan public cloud di Indonesia diperkirakan mencapai 1,43 miliar dollar AS tahun 2023 dengan IaaS sebagai segmen terbesar yang diestimasi mencapai 0,65 miliar dollar AS.

Sementara itu, CAGR pendapatan (tingkat pertumbuhan pendapatan) diperkirakan mencapai 17,78 persen (2023-2027) serta menghasilkan volume pasar sebesar 2,76 miliar dollar AS di tahun 2027.

Kemudian, rerata pengeluaran per karyawan pada market public cloud ini diperkirakan mencapai 10,08 dollar AS, masih tahun 2023 ini.

Keempat, penelitian Techwireasia (2022) juga menyebutkan, adopsi cloud computing di Asia Tenggara diperkirakan akan terus meningkat dengan Vietnam yang memimpin.

Kesuksesan di negara tersebut sangat mengesankan selama beberapa tahun terakhir. Terutama selama pandemi, Vietnam mampu bertahan, sementara negara-negara lain berjuang untuk pulih.

Isu adopsi cloud

Sekalipun minatnya kian meninggi, sejumlah isu adopsi mengemuka. Penulis menghimpun sejumlah temuan tantangan dengan tiga poin utama, yakni pengendalian biaya, manajemen keamanan, dan adanya kesenjangan skill.

Terkait dengan kesenjangan skill, teknologi cloud itu rumit sekali. Untuk mencapai keamanan tingkat enterprise, apalagi seperti industri finansial dan eCommerce, berbagai macam hal perlu dilakukan.

Padahal, kompleksitas itu berkorelasi dengan reliability. Kalau ada masalah komponen cloud yang tidak dipahami dengan baik, maka seluruh layanan IT kita akan bermasalah.

Sudah tentu, dari tiga poin tantangan tersebut, ujung-ujungnya isu biaya menjadi paling mengemuka.

Sebab, perusahaan pengguna merasa ada kenaikan biaya public cloud dalam setahun terakhir dengan kenaikan lebih di atas 50 persen. Mayoritas perusahaan mengeluarkan biaya tidak terduga dalam tagihan cloud mereka yang dapat menghabiskan anggaran yang diperlukan untuk area transformasi lainnya.

Kerumitan cloud menyebabkan adanya hidden cost. Walaupun penyedia cloud menyediakan tool cost estimation, banyak kasus prediksi suatu perusahaan kurang.

Misalnya, terlewat memperhitungkan cost layanan B yang ternyata juga terhitung ketika layanan A digunakan, atau terlewat memperhitungkan biaya network transfer.

Sehubungan dengan melambungnya biaya cloud, ada tiga contoh kasus. Pertama, layanan berbagi file, Dropbox, memutuskan menggunakan infrastrukturnya sendiri dan melaporkan tingkat laba kotor meningkat menjadi 67 persen.

Pada tahun 2016, Dropbox memutuskan melakukan cloud repatriation dari AWS dan menggunakan infrastrukturnya sendiri. Dropbox melaporkan, perusahaan sudah berhemat 75 juta dollar AS dengan beralih dari cloud ke infrastrukturnya sendiri.

Kedua, perusahan web 37signals memutuskan memindahkan dua produk utamanya dari cloud ke on premises setelah menganalisa bahwa produk utama tersebut tidak termasuk dalam kondisi yang cocok untuk menggunakan cloud. Mereka sudah menghabiskan 3,2 juta dollar AS untuk kebutuhan cloud.

Ketiga, Milkie Way, startup yang hampir bangkrut setelah menggunakan cloud run dan firebase karena tagihan 72.000 dollar AS untuk mencoba dua layanan tersebut. Mereka akhirnya berhenti karena tagihan luar biasa dari penyedia cloud.

Saat itu, free plan yang digunakan otomatis terungkit ke paid account, padahal perusahaan belum sepenuhnya memahami penggunaan layanan Cloud tersebut.

Maka terdapat isu yang fundamental, yakni kapankah sebuah perusahaan/lembaga sebaiknya menggunakan layanan data center atau infrastruktur berbasis cloud, dan kapan sebaiknya tetap menggunakan layanan on-premise yang dimiliki dan dikelola sendiri perusahaan?

Mengambil pelajaran kasus serupa Dropbox, Web 37signals, dan Milkie Way di atas, perusahaan-perusahaan dengan tingkat workload tinggi dan jenis layanan teknologi informasi skala besar yang rutin, maka infrastruktur on-premise bisa lebih efisien dibandingkan cloud computing.

Bagi perusahaan seperti ini, penggunaan cloud sebagai layanan data center utama bisa berdampak perdarahan finansial yang serius, apalagi untuk kasus perusahaan yang memiliki layanan digital sebagai layanan utama perusahaan.

Tentu, penggunaan infrastruktur on-premise sebagai data center utama harus disertai standar fasilitas yang memadai.

Misalnya dengan menggunakan level Tier yang sesuai kebutuhan bisnis, maupun kualitas pengelolaan yang baik serta mengikuti standar dunia seperti ITSM ISO 20000, maupun menggunakan kombinasi yang pas otomasi data center berbasis teknologi kecerdasan buatan (AI).

Dalam hal ini, perusahaan tidak perlu berkecil hati bahwa kualitas layanan teknologi informasi yang akan dihasilkan infrastruktur on-premise tertinggal dibandingkan kualitas layanan cloud.

Perlahan tapi pasti, dengan penerapan konsisten standar fasilitas maupun standar kualitas world class seperti sertifikasi Tier Uptime, ITSM ISO 20000 didukung SDM yang mumpuni, serta teknologi otomasi berbasis AI, maka kualitas layanan yang sangat tinggi akan bisa dicapai.

Berdasarkan riset kami di Sharing Vision tentang eCommerce dan eChannel pada akhir 2022 kepada sekitar 7000 responden, beberapa layanan digital perbankan papan atas di Indonesia seperti mobile banking BRI, Bank Mandiri, BCA, itu sudah mencapai kualitas layanan dan kehandalan yang sangat tinggi.

Nilai tingkat kepuasan pelanggannya sekitar 99 persen (antara 98 sampai 100 persen) untuk tampilan dan user interface, kelengkapan fitur, kemudahan penggunaan, kenyamanan, kehandalan, kecepatan dan keamanan.

Ini capaian yang luar biasa mengingat pelanggan di era digital adalah pelanggan yang sangat kritis mengenai kualitas layanan.

Sejauh pengetahuan penulis, bank-bank papan atas ini mengelola layanan utamanya di infrastruktur on-premise yang mereka kelola sendiri.

Para pemain dan penyedia layanan digital lokal di Indonesia ternyata juga mampu mencapai standar kualitas layanan yang sangat tinggi tanpa harus tergantung pada penyedia cloud global.

The last but not least, kembali ke sentilan Menneg BUMN di awal, selayaknya industri TIK nasional menggarap serius layanan-layanan cloud dengan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) setinggi mungkin serta mengedepankan pengembangan talenta digital yang memiliki skill dan kepakaran dalam teknologi cloud.

Industri TIK nasional diharapkan bisa melayani kebutuhan cloud yang handal, namun cost-efficient, yang akan meningkat secara akseleratif dalam era digital crossover yang dicirikan oleh lejitan dan ledakan jumlah kebutuhan layanan digital.

Mari, lanjutkan perjuangan! 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com