Low-code menyediakan antarmuka berbasis grafik dalam menghimpun dan mengkonfigurasi aplikasi, sehingga pengembang tidak perlu lagi berkutat dengan semua infrastruktur dan proses implementasi berulang yang memperlambat kerja mereka.
Pasar untuk teknologi low-code/no-code diperkirakan mencapai 26,9 miliar dollar AS pada 2023, atau meningkat 19,6 persen dibanding 2022.
Meningkatnya teknologi bisnis dan semakin banyak hyperautomation di seluruh perusahaan dan inisiatif composable business akan menjadi pendorong utama yang mempercepat adopsi teknologi low-code hingga 2026.
Hal ini utamanya karena perusahaan semakin beralih guna memenuhi tuntutan terkait kecepatan application delivery dan tingginya customized automation workflows yang semakin meningkat.
Dengan seluruh kelebihan dan manfaatnya, kita semua tetap harus menyadari beberapa kekurangan dan atau risiko composable architecture.
Pertama, sulitnya pengujian (testing). Sifat pendekatan composable yang dinamis dan fleksibel membuatnya sulit untuk memprediksi, menguji, dan memverifikasi interaksi antar komponen.
Karena berbagai elemen sistem dapat dikembangkan oleh tim berbeda, penting untuk memastikan bahwa proses pengujian dan QA distandarisasi dan didokumentasikan dengan baik.
Jika komponen memiliki persyaratan pengujian yang berbeda, hal ini akan mempersulit pengelolaan ketergantungan di antara komponen tersebut.
Kedua, keamanan (security). Karena bergantung pada banyak komponen dari sumber berbeda, dan setiap komponen mungkin memiliki persyaratan keamanan dan kerentanan yang berbeda.
Untuk memitigasi risiko ini, ada beberapa kunci; budaya keamanan yang kuat dan bertanggung jawab, strategi keamanan komprehensif yang mencakup enkripsi ujung ke ujung, kontrol akses, autentikasi, dan perlindungan data, serta monitoring 24/7 dan audit rutin seluruh sistem untuk mendeteksi pelanggaran keamanan dan potensi ancaman.
Sementara itu, pada sisi frontend, micro frontend menjadi tren yang akan meledak dalam beberapa tahun ke depan.
Micro frontend adalah desain arsitektur yang diterapkan pada frontend aplikasi yang mirip seperti apa yang dilakukan microservice untuk backend, yaitu memecah struktur monolithic ke dalam komponen yang lebih kecil dan dapat disusun ke dalam single page.
Tren ini tergambarkan dalam survey State of Frontend dari The Software House (2022) bahwa 37,2 persen responden percaya microfrontend menjadi tren/solusi yang akan booming di beberapa tahun ke depan. Dan 25 persen responden sudah mengadopsi micro frontend untuk pengembangan aplikasi.
Spotify menggunakan micro frontend untuk aplikasi desktop mereka dan menggunakan iframe untuk merakit aplikasi bersama.
Sementara IKEA menggunakan micro frontend untuk online store experience mereka. IKEA disebut lebih suka membagi sistem secara vertikal untuk menciptakan sistem dengan backend dan frontend yang dikembangkan oleh grup developer yang sama.