Juru bicara tersebut menggambarkan Lavender sebagai “hanya alat bagi analis dalam proses identifikasi target.”
Analis “harus melakukan pemeriksaan independen, di mana mereka memverifikasi bahwa target yang diidentifikasi memenuhi definisi yang relevan sesuai dengan hukum internasional dan batasan tambahan yang ditetapkan dalam arahan IDF,” kata juru bicara tersebut kepada CNN.
Menurut sumber, orang yang diidentifikasi sebagai anggota Hamas juga menjadi sasaran ketika berada di rumah. Dalam kasus ini, militer Israel juga memiliki sistem bernama "Where's Daddy?" (Dimana Ayah?).
Sistem tersebut menempatkan target yang dihasilkan oleh AI Lavender di bawah pengawasan berkelanjutan, melacak mereka hingga mereka mencapai rumah. Pada saat di rumah itulah, mereka akan dibom, sering kali bersama seluruh keluarga mereka, kata para petugas.
Namun, kadang-kadang, petugas mengebom rumah-rumah tanpa memverifikasi bahwa sasarannya ada di dalam, sehingga mengorbankan banyak warga sipil dalam proses tersebut.
"Saya sering kali menyerang sebuah rumah, tapi orangnya bahkan tidak ada di rumah,” kata salah satu sumber kepada +972.
“Hasilnya adalah Anda membunuh sebuah keluarga tanpa alasan,” lanjut sumber anonim tersebut.
Sejak serangan darat Israel di Gaza dimulai, militer Israel mengandalkan dan mengembangkan sejumlah teknologi untuk mengidentifikasi dan menargetkan anggota Hamas.
Pada bulan Maret lalu, The New York Times melaporkan bahwa Israel mengerahkan program pengenalan wajah secara massal di Jalur Gaza. Ini digunakan untuk membuat database warga Palestina tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka. Kemudian data ini digunakan militer Israel untuk mengidentifikasi agen Hamas.
Contohnya, alat pengenalan wajah mengidentifikasi penyair Palestina Mosab Abu Toha sebagai agen Hamas. Abu Toha ditahan selama dua hari di penjara Israel, di mana dia dipukuli dan diinterogasi sebelum dikembalikan ke Gaza.
Militer Israel juga menggunakan sistem bernama “The Gospel,” digunakan untuk menandai bangunan atau markas tempat Hamas diyakini beroperasi. Menurut laporan +972 dan Local Call, The Gospel berkontribusi terhadap sejumlah besar korban sipil sejak bulan November lalu.
Mona Shtaya, peneliti non-residen di Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah, mengatakan bahwa sistem Lavender adalah perpanjangan dari penggunaan teknologi pengawasan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Shtaya, yang berbasis di Tepi Barat, mengatakan kepada The Verge bahwa alat-alat ini sangat meresahkan. Menurut dia, masa perang tidak digunakan untuk membenarkan pengawasan massal dan pembunuhan massal terhadap orang-orang.
“Kita perlu memastikan bahwa masa perang tidak digunakan untuk membenarkan pengawasan massal dan pembunuhan massal terhadap orang-orang, terutama warga sipil, di tempat-tempat seperti Gaza,” kata Shtaya, sebagaimana dihimpun dari The Verge.
Penggunaan AI oleh militer Israel ini pun memantik perlu adanya seruan untuk moratorium penggunaan AI dalam perang,
Perang di Gaza masih berlanjut selama lebih dari enam bulan. Per awal April, setidaknya 33.037 warga Palestina telah tewas dan 75.668 luka-luka dalam serangan Israel sejak 7 Oktober. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.